Diduga Lalai, Korban Berjatuhan


Jakarta,Markaberita.Id
Dalam proses pengajuan permohonan ijin edar suatu produk obat oleh industri farmasi ke BPOM, khususnya obat karena proses awal pengajuan hingga memperoleh nomor ijin edar (NIE) sesuai yang dimintakan oleh industri farmasi ke BPOM sangatlah ketat dengan mengacu persyaratan-persyaratan yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya salah satu persyaratannya industri farmasi harus sudah bersertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), dan juga mengikuti standar-standar yang berlaku dalam dunia kefarmasian seperti Farmakope Indonesia ataupun British Pharmacopoeia maupun yang lainnya. Setelah industri farmasi memperoleh nomor ijin edar (NIE) dari BPOM dan telah diijinkan untuk memproduksi obat sesuai nomor ijin edarnya dan mendistribusikan/dipasarkan melalui distributor (Pedagang Besar Farmasi) dan pelayanan Kesehatan lainnya, kemudian dalam kurun waktu lebih kurang 3 (Tiga) bulan setelah BPOM menerbitkan ijin edar untuk produk obat yang dimintakan sesuai kandungannya, zat berkasiatnya, pelarutnya dan lainnya serta bentuk sediaan daripada obat, misalnya bentuk sirup, tablet, kapsul, kaplet, dan lain-lain.

Kemudian BPOM melakukan sampling dan pengujian obat dengan data dan informasi yang akurat dan tercatat sesuai nomor ijin edar (NIE) yang diterbitkan oleh BPOM, dengan tujuan menjamin kepastian obat yang aman, berkhasiat dan bermutu, sehingga tidak berisiko bagi Kesehatan masyarakat. Dan bukannya pelaksanaan pengawasan sampling dan pengujian Obat Sirop dilakukan setelah viralnya kasus GGA pada anak-anak yang diduga disebabkan Obat Sirop yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang berakibat kematian. Namun hal pengawasan produk Obat dan Makanan, tidak terlepas dari pengawasan internal dari Industri Farmasi maupun Pangan, dengan dokumen yang komprehensif lengkap tercatat dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Informasi yang diperoleh untuk sampling dan pengujian Obat Sirop yang mengandung cemaran EG dan DEG, BPOM tidak pernah melakukan karena tidak ada aturan yang mengatur untuk itu, namun menelisik salah satu tugas dan fungsi BPOM sebagaimana Perpres Nomor : 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pasal 3 ayat (1) huruf d, yaitu melaksanakan Pengawasan Sebelum Beredar (pre market) dan Pengawasan Selama Beredar (post market), dan dengan mencuatnya kasus Gagal Ginjal Akut pada anak-anak yang disebabkan oleh Obat Sirop yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang mengakibatkan kematian, disini terlihat adanya suatu “kelalaian” BPOM dalam hal pengawasan.

Baca Juga  Teh Irma Pasien Kanker Payudara di Serangbaru-Bekasi Butuh Bantuan Biaya Pengobatan

Menurut mantan Ka BBPOM Sapari mengatakan, kalau tidak salah, EG dan DEG tidak termasuk dalam uji parameter obat, dan BPOM tidak pernah melakukan karena tidak ada aturan yang mengatur, dan pengawasan khususnya obat tidak terlepas dari pengawasaan internal dari perusahaan farmasi itu sendiri sejak dari bahan baku obat (raw material) hingga produk jadi dan peredarannya menjadi tanggung jawab juga produsennya yang juga harus selalu melakukan in process control. Namun yang lebih penting adalah bagaimana pengawasan pre market dan post market yang dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan baik sebelum dan setelah produk obat memperoleh nomor ijin edar (NIE) BPOM. Tentu inilah peran besar dari Badan POM dalam hal pengawasan, TETAPI bilamana ada kejadian yang berisiko tinggi yang menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh Obat Sirop yang diduga mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang melebihi ambang batas, yang berakibat Gagal Ginjal Akut pada anak-anak, semestinya BPOM tidak boleh lepas tanggungjawab, kemudian SIAPA yang harus AWASI BPOM bila terjadi dugaan “kelalaian” dari tugas dan fungsi BPOM seperti pengawasan pre market dan post market, sebagaimana Perpres Nomor : 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Pasal 3 ayat (1) huruf d, yaitu melaksanakan Pengawasan Sebelum Beredar (pre market) dan Pengawasan Selama Beredar (post market).

Baca Juga  Merangsang Pasangan dengan Cara 'Melumat dan Menghisap' Organ Intim, Puas sampai Basah!

Tambahnya, yang dilakukan oleh BPOM adalah pembenahan secara menyeluruh baik dari SDM nya hingga tugas pokok dan fungsi yang jelas dan detail, tetapi mustahil ini bisa dilakukan karena terlihat jelas tidak akan dilakukan oleh Kepala BPOM terlama sekarang ini (Juni 2016 sampai dengan sekarang), kecuali Presiden Jokowi yang melakukan pembenahan yaitu segera mengganti Ka BPOM, dengan Ka BPOM yang baru, yang mempunyai kopetensi di bidang kefarmasian, berintegritas, akuntabel, taat hukum dan berpihak pada bawahan dan masyarakatnya.

Lebih jauh lagi, industri Farmasi bisa juga disalahkan bilamana terbukti melanggar ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dalam bidang kefarmasian, sebagai contoh adanya pelanggaran penambahan bahan tambahan obat atau pangan diatas ambang batas yang telah ditentukan, sebenarnya sebelum menyalahkan pihak industri farmasi pihak BPOM harus mempunyai data dukung yang bisa dipertanggungjawabkan, misalnya : Return Samplenya (sampel pertinggalnya), Nomor Ijin Edar Obat Sirop yang tercemar EG dan DEG, No. Batch nya, Magf Date nya, Expired Date (ED) nya, kapan, dimana dan siapa yang konsumsi Obat Sirop yang diduga tercemar kandungan EG dan DEG yang melebihi ambang batas.

Baca Juga  RSUD Cibitung Kabupaten Bekasi Lakukan Test Kesehatan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi

Dirinya menyesalkan kejadian ini. “Menurut saya kejadian ini sangat disesalkan mengingat kejadian ini menimpa khususnya pada anak-anak, dan tentunya harus ada yang bertanggungjawab baik itu industri farmasinya maupun BPOM sendiri yang tidak boleh lepas tanggungjawab begitu saja.”

Yang dilakukan oleh BPOM dalam kasus yang sedang booming akibat Obat Sirop yang diduga tercemar kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) melebihi ambang batas ini, sudah seharusnya BPOM berbenah diri dalam hal pengawasan yang menjadi tugas dan fungsinya, sehingga kedepan lebih awal bisa mencegah agar tidak terulang kembali kejadian ini dan tidak saling menyalahkan dan mencari kambing hitam pada instansi lain, dan BPOM harus berani bertanggungjawab, namun proses hukum tetap harus berjalan dan tidak boleh tebang pilih, baik proses hukum terhadap industri farmasi maupun proses hukum terhadap BPOM serta pihak-pihak lain yang terlibat BPOM, tutup Sapari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *