Bentuk Sinergi Penyelenggara dan Peserta Pemilu Yang Bernama Saksi

Andi Nugroho Presedium Aliansi Pemuda Jakarta (APJ)

 

Jakarta, Markaberita.id

Pemilihan Umum ( Pemilu) 2024 akan menjadi perhelatan besar dan bersejarah bagai bangsa Indonesia. Pada tahun itu akan dilaksanakan hajat besar yaitu Pemilu Presiden dan Pemilihan Anggota Legislatif. Pada Tahun yang sama juga akan dilaksanakan Pilkada serentak seluruh Indonesia. Hal tersebut sebagimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 2024, melihat perlu adanya sosialisasi antar lembaga-lembaga terkait seperti Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) juga Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu) kepada masyarakat baik itu Organisasi Kemasyarakatan maupun masyarakat pada umumnya untuk mempersiapkan diri menuju  agenda politik tersebut. Informasi yang komprehensif tentu menjadi modal penting yang perlu tersampaikan kepada masyarakat  agar pelaksanaan pemilu bisa berjalan lancer dan sukses.

Tahapan-tahapan Pemilu sebagaimana termaktup dalam regulasi yang mengatur bisa menjadi pijakan guna menyusun langkah demi suksesnya perhelatan Pemilu 2024. Misalnya, Pasal 167 ayat (6) UU 7/2017 mengatur tentang Tahapan Penyelenggaraan. Waktu penjadwalannya adalah dimulai paling lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara. Selain itu Pada UU 7/2017 pasal 51 ayat (3) dan pasal 54 ayat (3) dijelaskan bahwa, (petugas adhoc) PPK dan PPS dibentuk oleh KPU kabupaten/kota paling lambat 6 (enam) bulan sebelum penyelenggaraan pemilu dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara. Untuk semua itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPU ( PKPU ) N0.3 tahun 2022 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024. Aturan yang identik juga terjadi pada UU Pilkada, pasal 15 ayat (3) dan pasal 18 ayat (3) mengatur bahwa, PPK dibentuk oleh KPU kabupaten/kota paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara. Tentu hal tersebut perlu diketahui oleh semua masyarakat demi terciptanya sinergi dalam pencapaian hasil yang maksimal.

Baca Juga  Menurut Romo Kefas Pewarna Indonesia Jawa Barat Akan Mendukung Calon yang Sesuai dengan DNA Pewarna Pada Pilkada 2024

Selain berkenaan dengan penyelenggara Pemilu, ada hal yang menarik untuk dicermati yaitu tentang saksi pemilu. Sebelumnya muncul usulan agar semua saksi pemilu dibiayai oleh negara. Hal ini mengingat besarnya dana yang harus dikeluarkan oleh Partai Politik  dalam membiaya sanksi di setiap TPS. Dalam perkembangannya, ide ini nampaknya tidak akan diakomodir karena adanya penolakan dari sebagian besar rakyat Indonesia. Selain karena saksi merupakan kepentingan masing-masing Partai Politik peserta Pemilu, juga sudah tersedia pengawas pemilu di setiap TPS yang tugas dan fungsinya mengawasi agar tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.

Seperti kita ketahui Bersama Bahwa Saksi merupakan salah satu  Penentu legitimasi dalam pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) salah satunya yakni kehadiran para saksi. Sebab, selain menjadi representasi Partai Politik peserta Pemilu, mereka juga bertugas menjaga agar pemilu di TPS berjalan dengan jujur dan adil.

Saksi adalah perwakilan yang mendapatkan mandat peserta Pemilu yang bertugas memastikan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara berjalan jujur, adil dan sesuai peraturan perundang-undangan.Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019, diatur bahwa saksi mesti mendapat surat mandat dari peserta pemilu. Pada pasal 31 ayat (3), (5), (6) menentukan hanya ada 2 saksi yang akan mewakili masing-masing peserta pemilu. Saksi parpol 2, presiden 2, DPD 2, seterusnya. dari 2 saksi yang dikirim masing-masing peserta pemilu, hanya 1 orang yang diperbolehkan masuk ke TPS

Baca Juga  Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka Digugat Oleh Almas Tsaqibbirru di PN Surakarta Terkait Wanprestasi

KPU tak mewajibkan setiap peserta pemilu memiliki saksi, sebab hal itu bisa memberatkan peserta yang bersangkutan. Oleh karenanya, bisa jadi tak semua TPS ada saksi dari suatu pihak peserta pemilu. Dalam menjalankan tugasnya, saksi di TPS sama sekali tidak boleh mengenakan atribut kampanye. Meskipun mereka ditugaskan oleh partai atau paslon tertentu. Hal ini sesuai dengan aturan pasal 31 ayat (4).

Saksi yang hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang mengenakan atau membawa atribut yang memuat nomor, nama, foto Calon/Pasangan Calon, simbol/gambar Partai Politik, atau mengenakan seragam dan/atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung atau menolak Peserta Pemilu tertentu.

Saksi di TPS ini memiliki hak yang cukup istimewa. Sebab, mereka berhak mengajukan keberatan atas terjadinya kesalahan dan/ atau pelanggaran dalam pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara ke KPPS. Sesuai Pasal 59 ayat (1):

Saksi atau Pengawas TPS dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur dan/atau selisih penghitungan perolehan suara kepada KPPS apabila terdapat hal yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Para saksi juga berhak untuk mendapat salinan formulir Model A.3-KPU, Model A.3-KPU, Model A.4-KPU, dan Model A.DPK-KPU. Mereka berhak juga atas salinan Berita Acara Pemungutan dan Penghitungan Suara dan salinan sertifikat hasil Penghitungan Suara.

Baca Juga  GPI jakarta Raya Dukung Gus Yaqut sebagai cawapres Pendamping Ganjar Pranowo Pada Pilpres 2024.

KPPS yang tidak memberikan hak atas dokumen tersebut kepada saksi bisa terancam pidana penjara sesuai Pasal 506 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017:

Setiap anggota KPPS/KPPSLN yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, sertifikat hasil penghitungan suara kepada Saksi Peserta Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Meski begitu saksi juga memiliki sejumlah larangan ketat. Dalam Buku Saku Saksi Peserta Pemilu Tahun 2019, Bawaslu merangkum larangan tersebut sebagai berikut:

1. Mempengaruhi dan mengintimidasi Pemilih dalam menentukan pilihannya.

2. Melihat Pemilih mencoblos Surat Suara dalam bilik suara.

3. Mengerjakan atau membantu mempersiapkan perlengkapan pemungutan dan penghitungan suara serta mengisi formulir pemungutan suara dan hasil penghitungan suara.

4. Mengganggu kerja KPPS dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

5. Mengganggu pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara.

Mengingat begitu vital dan pentingnya saksi maka harus ada sinergi antara Bawaslu dengan Parpol perserta Pemilu. Memberikan pelatihan yang baik serta transformasi informasi pada saksi pada Pemilu menjadi salah satu kewajiban Bawaslu yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Tujuannya adalah agar bisa memperbaiki kekurangan yang baik yang dilakukan oleh saksi maupun oleh penyelenggara Pemilu. Semakin baik kualitas saksi dalam pelaksanaan pemilu maka bisa meningkatkan kualitas pelaksanaan Pemilu 2024. (Red).

Posting Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *