Ichsanuddin Noorsy
Jakarta, Markaberita.id
Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR-RI 2023 menyatakan, pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 2024.
Pernyataan itu bagaikan gayung bersambut dengan pidato Ketua DPD-RI LaNyalla Mahmud Matalitti. Dalam sidang yang
juga merupakan Sidang Bersama DPR-RI dan DPR-RI 16 Agustus lalu, Ketua DPD-RI menegaskan bahwa bangsa Indonesia telah meninggalkan Pancasila dan pemilihan presiden secara langsung yang diadopsi
begitu saja (dari sistem politik liberal, pen), terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. “Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas
yang bisa difabrikasi,” tegas tokoh yang suka berkunjung ke masyarakat tanpa protokol ketat ini.
BamSoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo, menyampaikan hal itu dalam rangka kebutuhan Indonesia
untuk perencanaan jangka panjang yang holistik, konsisten, dan berkesinambungan dari suatu periode pemerintahan ke periode pemerintahan berikutnya, antara pusat dan derah. Tujuannya, agar mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang luar biasa, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Sementara hasil kunjungan Ketua DPD-RI ke 34 provinsi dan sekitar 300 kabupaten/kota menemukan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan oleh pemerintah daerah.
Singkatnya, temuan DPD adalah masalahnya sedangkan PPHN adalah jawabannya. Maka antara MPR dan DPD seakan menjadi seirama.
Namun menjadi bertolak belakang saat Ketua MPR-RI menyatakan pembahasan PPHN itu dilakukan setelah Pilpres 14 Februari 2024.
Masalah utamanya terletak pada kedudukan MPR, peranan, dan produk
hukumnya. BamSoet menyadari adalah tidak mungkin membuat PPHN (seperti GBHN era Orba) tanpa mengubah MPR menjadi lembaga tinggi negara. Jika MPR sudah menjadi lembaga tertinggi negara, maka MPR pun berhak memilih dan menetapkan serta memberhentikan Presiden RI.
Padahal Ketua DPD-RI tegastegas menyatakan bahwa memilih Presiden RI dengan cara liberal telah meninggalkan Pancasila, khususnya sila ke empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Maka menetapkan PPHN melalui MPR- RI sementara memilih presiden dengan cara liberal menjadi kontradiksi satu sama lain. Presiden yang dipilih langsung jelas merupakan mandataris partai yang diminta
pemilih untuk memilih, sedangkan PPHN merupakan produk MPR yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Di sisi lain, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara mensyaratkan MPR diisi oleh DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Tujuanya agar penjelmaan kedaulatan rakyat mencapai posisi dan kondisi paripurna sehingga tidak ada aspirasi yang tersisa. Sementara memilih presiden yang diusulkan partai politik sama dengan mengkanalisasi pilihan rakyat pada calon yang dikehendaki parpol.
Masyarakat golongan tertentu dan aspirasi pelbagai daerah belum tentu merasa aspirasi politiknya terwakili oleh calon
yang diusung dan didukung parpol.
Memahami benturan aturan dan makna yang termaktub pada UUD 1945 hasil empat kali amandemen, termasuk kontradiksi di atas, maka memang sepatutnya kita kembali ke UUD 1945 dengan penyempurnaan melalui pelaksanaan Sidang MPR sebelum pemilu 2024.
Dengan menegakkan Pancasila sebagai perekat kemajemukan, kita berjuang mempersatukan Indonesia melalui kerakyatan, kemanusiaan, dan mewujudkan keadilan serta menegakkan Ketuhanan. Masalah mengisi Utusan Daerah dan Utusan
Golongan dengan sistem dan prasyaratnya, terselesaikan dengan waktu yang tersedia. Sementara peranan KPU sebagai organisasi pelaksana Pilpres, sebagian dapat didayagunakan MPR-RI.
Sedangkan agenda pemilihan anggota legislatif dan anggota DPD yang akan menjadi anggota DPR, tetap dilaksanakan KPU.
Ini jalan keluar terbaik sehingga bangsa Indonesia tidak terpecah belah. Tekad melaksanakan Pancasila, memenuhi panggilan dan amanat UUD 1945 serta melanjutkan semangat kejuangan para pejuang, adalah tugas suci bagi negarawan yang berjibaku memenuhi panggilan suci UUD 1945. Karenanya tidak alasan untuk
menunda Sidang MPR-RI.
Waktu sekitar 160 hari ini masih cukup jika kita memegang sumpah jabatan kita
dan mau bekerja keras demi lebih memuliakan bangsa dan negara. (Red)