Organisasi Masyarakat Sipil menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang tidak transparan dalam melakukan pembahasan Amandemen UU No. 13 Tahun 2016, atau UU Paten.
Pembahasan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi
ini menimbulkan kekhawatiran mengenai krisis demokrasi. Lebih lanjut, RUU Paten
ini juga berdampak pada mahalnya harga obat, karena menghambat produksi generik
dan lisensi wajib. Indonesia AIDS Coalition (IAC), bersama para mitra,
mendorong pemerintah untuk membuka informasi seluas-luasnya dan memberikan
ruang bagi partisipasi publik yang bermakna. RUU Paten harus berpihak pada
kesehatan publik, bukan korporasi.
Amandemen
UU No. 13 Tahun 2016, atau UU Paten telah diajukan oleh Pemerintah Indonesia
sejak tahun 2018. Usulan Amandemen tersebut kini telah masuk ke dalam Prolegnas
tahun 2024 dan berada pada tahap Pembahasan Tingkat 1 di DPR. Sehubungan dengan hal tersebut, Organisasi
Masyarakat Sipil (OMS) menilai bahwa pembahasan RUU Paten digelar secara
terselubung atau sembunyi-sembunyi oleh pemerintah. Pasalnya, hingga kini draf
RUU Paten tidak pernah dibuka ke publik, bahkan poin-poin yang akan dibahas
dalam RUU tersebut juga tidak pernah diinformasikan secara jelas. Padahal, RUU
Paten akan berdampak signifikan pada kehidupan masyarakat, termasuk akses
terjangkau ke obat-obatan. Hal ini
disebabkan RUU akan mengatur mengenai perlindungan paten atas produk, termasuk
obat-obatan. Selain perlindungan, RUU juga akan mengatur mengenai pelaksanaan
paten, lisensi wajib, penggunaan paten oleh pemerintah, dst. yang merupakan
dasar hukum penting bagi produksi generik ataupun pengadaan obat secara cepat
pada kondisi darurat, seperti misalnya pandemi COVID-19.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya
Wardhana, menyampaikan bahwa Amandemen UU Paten harus berpihak pada kelompok
pasien dengan memastikan akses terjangkau ke obat-obatan. Bukan kepada
kepentingan segelintir korporasi. Selain penghematan dari segi biaya yang
dikeluarkan oleh individu untuk berobat, turunnya harga obat juga akan
berdampak pada penghematan anggaran negara. Sebagai contoh, IAC pernah
mengadvokasikan penurunan harga obat HIV, atau ARV, jenis TLE sebesar 48%, dari
US$ 28 per botol (IDR 453,000) di tahun 2016 menjadi US$ 15 (IDR 242,680) di
tahun 2020 sebagai akibat dari kompetisi generik. Dari penurunan harga
tersebut, diprediksi akan terdapat penghematan anggaran negara sebesar US $ 8
juta per tahun, yang dapat menambah jumlah Orang dengan HIV (ODHIV) yang
mengakses TLE sebesar 45,482, atau 92.8%. Penurunan harga meningkatkan jumlah
ODHIV yang dapat mengakses pengobatan. Selain itu, penghematan juga dapat
memberikan tambahan ruang fiskal bagi pembiayaan beberapa komponen lain seperti
pencegahan dan promosi kesehatan.
“RUU Paten ini akan berdampak pada akses ke obat di
Indonesia. Terlebih jika secara substansi RUU tersebut tidak berpihak pada kepentingan
pasien, tetapi justru kepada perusahaan farmasi sebagai pemilik paten. Lebih
jauh, hal ini akan berdampak pada beban ekonomi masyarakat sekaligus negara
yang harus menanggung mahalnya harga obat di sistem JKN. Karenanya, masyarakat
sipil menyampaikan keprihatinan sekaligus kekhawatiran sebab pembahasan RUU
Paten ini sedari sejak awal dilakukan secara tertutup dan tidak melibatkan
masyarakat sipil. Bahkan sejauh ini belum ada draf yang dibuka ke publik,” ujar
Aditya Wardhana.
Pembahasan yang dilakukan secara tertutup ini menjadi
perhatian dari OMS, terlebih dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi
krisis demokrasi yang mana beragam UU disusun dengan cara yang tidak transparan
dan minim partisipasi, salah satunya adalah UU No. 6 Tahun 2023, atau UU Cipta
Kerja. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana
Sidik, menyampaikan bahwa salah satu isi dari UU Cipta Kerja adalah merevisi
pasal penting dari UU Paten, yakni Pasal 20 mengenai prinsip local working.
“Wacana Amandemen UU Paten tanpa pelibatan dari masyarakat
sipil ini semakin memperkeruh krisis demokrasi. Berbagai UU dibahas secara
kilat tanpa melibatkan partisipasi publik dan secara substansi justru berpihak kepada
para pemilik modal. Beberapa UU tersebut bahkan sudah diputus inkonstitusional
oleh MK. Karenanya, kami mendesak agar pembahasan RUU Paten ini dilakukan
secara transparan dan memberikan ruang bagi partisipasi publik yang bermakna,”
ujar Rahmat Maulana Sidik.
Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa RUU Paten
ditujukan untuk mengakomodir kepentingan liberalisasi perdagangan. Indonesia, sebagai
negara yang tergabung di dalam Organisasi Perdagangan Dunia, atau WTO, terikat
dalam standar aturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang diatur dalam
Perjanjian TRIPS. Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang banyak mendorong perjanjian
perdagangan bebas di tingkat bilateral ataupun regional yang mendorong standar perlindungan
HKI yang lebih ketat.
Koordinator Program Kesehatan IGJ, Agung Prakoso,
menyampaikan bahwa saat ini beberapa perjanjian perdagangan bebas yang sedang
dinegosiasikan mendesak agar Indonesia menetapkan standar perlindungan HKI yang
lebih tinggi, seperti misalnya Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif
Indonesia-Uni Eropa atau I-EU CEPA. Saat ini, desakan tersebut tidak diterima karena dianggap bertentangan
dengan UU.
“Uni Eropa melalui I-EU CEPA mendesak agar Indonesia
menerapkan standar perlindungan paten yang lebih tinggi, seperti perpanjangan
masa perlindungan paten melebihi 20 tahun dan menghalangi pemanfaatan
fleksibilitas TRIPS yang dapat mendorong masuknya obat-obatan generik. Pemerintah memang menyampaikan hal itu tidak dapat diterima karena bertentangan dengan UU Paten. Namun terdapat kekhawatiran bahwa Amandemen UU Paten diarahkan untuk hal tersebut. Terlebih, dengan tidak adanya draf yang dibuka ke publik, spekulasi ini sangat wajar untuk muncul,”
tambah Agung Prakoso.
“Kami mendesak agar Pemerintah Indonesia tidak
terburu-buru dalam melakukan Amandemen UU Paten tanpa sebelumnya memastikan
bahwa hal tersebut berpihak pada kesehatan publik. Yaitu, menetapkan standar patentabilitas yang tinggi sehingga
mendorong pendaftaran paten yang berkualitas; mencegah patent
evergreening dan perpanjangan masa perlindungan paten secara tidak
semestinya melalui second medical use; memaksimalkan pemanfaatan lisensi
wajib; menyederhanakan prosedur penggunaan paten oleh pemerintah, serta mendukung produksi obat generik dalam negeri melalui
ketentuan local working. Kami juga meminta pemerintah agar membuka ke
publik informasi terkait dengan Amandemen UU Paten, baik itu draf Amandemen,
DIM, maupun risalah rapat. Juga membuka ruang bagi keterlibatan publik melalui
RDPU,” tutup Aditya.