Markaberita.id | Jakarta – Upaya Ridwan Kamil menarik presiden Prabowo Subianto mantan Presiden Joko Widodo ke dalam arena Pilkada DKJ 2024 menuai kritik dari banyak pihak. Sebab hal tersebut hanya membuat blunder atau menimbulkan banyak pertanyaan publik mengenai etika dan kenegarawanan seorang kepala negara. Terlebih gaya komunikasi politik tersebut sangat mencolok dibeberapa kesempatan Pilkada, seperti pemanggilan Dedi Mulyadi untuk melihat Maung yang menjadi kendaraan Presiden, begitu juga mantan Presiden Jokowi saat pulang ke Solo yang kemudian memanggil Ahmad Lutfi menuju kendaraanya.
“Sebenarnya sah-sah saja, tetapi Kang Emil, pasti paham betul bagaimana posisi kepala pemerintahan, dan ketika kepala pemerintahan terlibat langsung secara, gestur, komunikasi mendukung salah satu kelompok. Ini tentu menjadi pertanyaan publik tentang etika dan kenegarawanannya,” ucap Pengamat politik dari Indonesia Bersih, Firdaus seperti dikutip markaberita dari saluran YouTube SC Alumni Network, Senin, (4/11/2024).
Ia mengatakan, apakah Presiden Prabowo saat ini merupakan pimpinan untuk seluruh rakyat Indonesia atau hanya untuk kelompok tertentu saja, begitu juga apakah kepala daerah yang diterima hanya mereka yang berasal dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus saja atau untuk semua kepala daerah dan tentunya hal ini mendegradasi peran, etika dan kenegarawanan seorang kepala negara .
“Dan pada titik ini, Ridwan Kamil tidak perlu menyeret-nyeret Presiden, apakah yang terjadi karena terus disusul oleh Pramono-Rano, sehingga selain logistik dukungan presiden diperlukan,” ucapnya.
Lantas apakah langkah yang diambil Ridwan Kamil ini bagian dari kepanikan dirinya yang elektabilitasnya terus terlebih dalam sejarah Pilkada DKI Jakarta kursi DKI 1 selalu dimenangkan oleh kelompok oposisi. Firdaus pun melihat demikian, Jika Ridwan Kamil pasca masuk Jakarta sudah kehilangan inovasinya berikut pendampingnya Suswono.
Sehingga terkadang mereka memunculkan hal-hal yang tidak lagi dibutuhkan oleh warga Jakarta, tentunya hal itu juga akan membuat publik terus bertanya, apakah layak mereka memimpin Jakarta? Padahal antara RK dan Pramono memiliki program yang relatif sama tapi yang membedakan adalah komunikasi dan sosialisasi yang terus tertinggal oleh Pramono dan Rano Karno.
“Selain kita melihat kurang optimalnya dukungan Kim Plus, kang Emil lebih banyak menggunakan refrensi masalalu, keluarga, tetapi dalam sosialisasi itu jauh tertinggal dengan Pramono dan Rano,” terangnya.
Dihubungi terpisah, pendapat senada juga disampaikan oleh pengamat perkotaan Jakarta Multi Dimensi, Syamsudin, ia menilai jika upaya Ridwan Kamil menyeret presiden dan mantan presiden dalam arena Pilkada DKJ 2024 sama saja sedang menggali lubang kuburannya sendiri.
Menurutnya pada fase 30 hari menjelang ‘pencoblosan’ beberapa peristiwa tersebut hanya akan menjadi indikator semakin merosotnya elektabilitas Ridwan Kamil-Suswono.
“Karena publik sudah memahami, dan sama sekali tidak akan memberikan pengaruh terhadap pemilih, karena warga juga sudah tidak ingin lagi dengan kandidat yang berstempel atau didukung oleh Mulyono,” tutupnya. (Red)