Markaberita.id | Jakarta – Fenomena sound horeg belakangan ini menjadi isu yang semakin mengemuka di berbagai daerah di Indonesia. Sound horeg, yang dikenal dengan suara keras dan dentuman musik yang memekakkan telinga, sering kali dianggap sebagai bentuk hiburan atau parade kebudayaan. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena ini mulai memunculkan gangguan serius terhadap ketertiban umum. Ironisnya, meskipun telah banyak kritik dan kasus yang muncul akibat dampak negatif dari sound horeg, Pemerintah Daerah (Pemda) dan kepolisian setempat seakan tutup mata terhadap fenomena ini.
Salah satu isu yang menarik perhatian dalam fenomena sound horeg adalah tingginya biaya sewa yang bisa mencapai ratusan juta rupiah. Biaya yang fantastis ini sering kali dikeluarkan oleh para penyelenggara acara untuk mendatangkan peralatan sound system yang besar dan canggih. Meskipun biaya yang tinggi ini seharusnya menjadi perhatian, banyak pihak yang merasa bahwa alokasi dana tersebut lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti pembangunan infrastruktur atau pengembangan budaya yang lebih inklusif.
Namun, meskipun biaya yang sangat tinggi tersebut sering kali menuai kritik dari netizen, fenomena sound horeg tetap terus berlangsung tanpa adanya perhatian serius dari pihak berwenang. Padahal sejumlah kasus yang terjadi akibat kegiatan ini sudah banyak bermunculan di sejumlah daerah. Hal ini menciptakan kesan bahwa ada legitimasi terhadap kegiatan ini, meskipun dampak negatifnya terhadap ketertiban masyarakat semakin jelas terlihat.
Gangguan ketertiban umum yang disebabkan oleh sound horeg juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Bukan hanya warga sekitar yang merasa terganggu dengan kebisingan yang ditimbulkan, tetapi juga berbagai kasus kekerasan, kerusuhan, dan tindak kriminalitas sering kali terjadi pasca acara sound horeg. Beberapa laporan menunjukkan bahwa keributan yang ditimbulkan oleh sound horeg sering kali menjadi pemicu konflik sosial, bahkan menyebabkan terganggunya keamanan di area sekitar.
Lebih ironisnya, meskipun banyaknya laporan mengenai gangguan tersebut, Pemda dan kepolisian setempat seolah tidak memberikan respon yang memadai. Penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran terkait dengan kebisingan atau pelanggaran ketertiban umum membuat fenomena ini semakin berkembang tanpa ada upaya untuk menanggulanginya.
Bagi sebagian kalangan, sound horeg dianggap sebagai bagian dari parade kebudayaan atau bentuk ekspresi diri yang sah. Namun, perlu dicatat bahwa legitimasi ini tidak memiliki landasan yang jelas, baik dari segi hukum maupun dari segi keberlanjutannya sebagai tradisi yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun ada penggemar setia yang menganggap sound horeg sebagai sarana hiburan yang menyatukan, banyak pihak yang berpendapat bahwa kegiatan ini justru merusak keharmonisan sosial dan menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan warga.
Kritik terhadap sound horeg pun sering kali dibalas dengan komentar negatif dari para penggemar kegiatan tersebut. Mereka yang mendukung sound horeg kerap kali berargumen bahwa ini adalah bagian dari budaya yang harus dihormati dan dijaga. Namun, dalam kenyataannya, fenomena ini justru lebih banyak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang terganggu dengan kebisingan, bukan hanya pada jam-jam tertentu, tetapi sering kali hingga larut malam.
Fenomena sound horeg yang semakin marak ini membutuhkan perhatian serius dari pihak berwenang, baik dari Pemda, kepolisian, maupun masyarakat luas. Regulasi yang jelas mengenai batasan kebisingan dan pengaturan kegiatan semacam ini perlu segera diterapkan untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar. Tanpa adanya langkah konkret dari pemerintah dan penegakan hukum yang tegas, fenomena sound horeg hanya akan terus berkembang dan mengancam ketertiban umum. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa sebuah kegiatan yang mengatasnamakan budaya atau hiburan tidak seharusnya mengabaikan kenyamanan dan ketentraman masyarakat yang lebih luas. (Red)