Markaberita.id | Jakarta 16 april 2025 – Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan dan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan negara seperti Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya) harus menghadapi berbagai dinamika yang turut mempengaruhi kebijakan operasional mereka. Salah satu langkah signifikan yang diambil oleh PAM Jaya adalah kenaikan tarif air bersih untuk penghuni apartemen dan rumah susun (Rusun), yang mulai berlaku sesuai dengan Keputusan Direktur Utama PAM Jaya Nomor 730 Tahun 2024 dan Surat Edaran Nomor e-35820/TU.01.04 tanggal 3 Desember 2024.
Keputusan kenaikan tarif ini mendapatkan perhatian luas, terutama mengingat dampaknya terhadap masyarakat Jakarta yang sudah terbebani dengan biaya hidup yang semakin tinggi. Namun, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menilai bahwa tarif yang dikenakan oleh PAM Jaya untuk wilayah Jakarta masih tergolong relatif murah jika dibandingkan dengan harga air bersih di daerah-daerah lain di Indonesia.
Pernyataan ini mencerminkan posisi pemerintah yang tetap berupaya menjaga keseimbangan antara keberlanjutan operasional PAM Jaya dan pengaruh terhadap daya beli masyarakat. lantas, apakah Gubernur Anung, sapaan akrabnya sudah mencium adanya dugaan ‘kongkalikong’ di tubuh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)Tersebut, atau masih dalam rangka investigasi?
Berdasarkan penelusuran Markaberita, di balik kebijakan tarif baru tersebut, terdapat isu yang memicu kontroversi, yaitu adanya dugaan korupsi dalam kerja sama antara PAM Jaya dan PT Moya Indonesia, sebuah perusahaan swasta yang selama ini menjadi mitra dalam pengelolaan distribusi air bersih di Jakarta. Dugaan ini muncul ke permukaan karena beberapa fakta dan proses yang dianggap tidak transparan dan mengarah pada potensi kerugian negara. Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih dalam mengenai isu ini dan implikasinya terhadap keuangan negara serta masyarakat Jakarta.
Salah satu poin yang menjadi dasar dugaan korupsi terkait dengan kerja sama PAM Jaya dan PT Moya Indonesia adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penunjukan PT Moya sebagai mitra kerja sama.
Penunjukan PT Moya yang dinilai tidak melalui proses lelang yang terbuka serta studi kelayakan yang jelas menjadi sorotan. Banyak pihak mencatat bahwa PT Moya sebelumnya telah memiliki relasi bisnis dengan PAM Jaya, yang mungkin telah memberikan keuntungan bagi perusahaan ini meskipun belum ada kajian yang memadai terkait dengan kelayakan kerja sama tersebut.
Selain itu, beberapa pihak mempertanyakan apakah proyek-proyek yang dilaksanakan oleh PT Moya Indonesia benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ataukah lebih terkait dengan kepentingan tertentu. lebih dalam, dugaan kongkalikong dan adanya kepentingan tertentu di balik penunjukan PT Moya semakin memperburuk citra kerja sama ini. Tentunya, ada kekhawatiran yang muncul terkait kerja sama ini yaitu mengenai potensi kerugian negara, khususnya terkait dengan kebijakan pembelian air dari PT Moya Indonesia.
Dalam kerja sama ini, PAM Jaya dilaporkan harus membeli air bersih dari PT Moya per meter kubik. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa aset pengelolaan air bersih telah kembali menjadi milik PAM Jaya setelah berakhirnya kontrak dengan dua perusahaan sebelumnya, yaitu Palyja dan Aetra.
Kebijakan ini dinilai dapat membebani keuangan PAM Jaya yang pada akhirnya juga berisiko membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Beberapa pengamat mengkhawatirkan bahwa beban biaya yang terus meningkat akibat perjanjian ini bisa mencapai triliunan rupiah, yang tentunya akan mempengaruhi keberlanjutan layanan air bersih di Jakarta.
Keterlibatan Konsorsium Bank: Fasilitas Kredit untuk Proyek Infrastruktur
Di tengah kontroversi ini, PT Moya Indonesia dan anak perusahaannya, PT Air Bersih Jakarta, mendapatkan dukungan finansial melalui konsorsium perbankan untuk mempercepat pemasangan sambungan air bersih baru di Jakarta. Konsorsium Bank memberikan fasilitas kredit senilai Rp 8,874 triliun.
Fasilitas kredit ini bertujuan untuk mempercepat pemasangan 350.000 sambungan air bersih baru di Jakarta dalam beberapa tahun ke depan, yang merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mencapai capaian layanan air bersih 100% pada tahun 2030. Namun, fasilitas kredit sebesar itu menambah kompleksitas permasalahan yang ada.
Beberapa pihak mempertanyakan apakah utang sebesar itu akan berdampak pada pengelolaan keuangan PAM Jaya di masa depan dan apakah proyek ini dapat benar-benar memberikan dampak positif yang sebanding.
Terkait dengan dugaan korupsi ini, berbagai organisasi masyarakat sipil telah mendesak agar Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (Kejati) segera melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap Direktur Utama PAM Jaya terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam kerja sama ini. Tapi sayangnya, sejumlah politisi Kebon Sirih masih belum bersuara.
FK REPNUS Faisal Nasution adalah salah satu lembaga yang telah mendesak agar aparat penegak hukum menindaklanjuti dugaan ini. Mereka menilai bahwa kerja sama ini berpotensi merugikan keuangan negara dan masyarakat Jakarta yang akhirnya harus menanggung biaya tambahan dalam bentuk tarif air yang lebih tinggi.
Namun, hingga saat ini, tidak ada pernyataan resmi dari aparat penegak hukum yang mengonfirmasi adanya temuan tindak pidana korupsi dalam hubungan kerja antara PAM Jaya dan PT Moya Indonesia. Dugaan-dugaan tersebut masih harus melalui penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan apakah terdapat pelanggaran hukum. Lagi berdasarkan penelusuran, yang disampaikan FK REPNUS saat ini proyek-proyek pemasangan pipa air bersih yang sedang dikerjakan oleh PAM Jaya diduga banyak yang mangkrak.(Red).