Markaberita.id | Jakarta 15 april 2025 – Pada akhir tahun 2024, perjuangan para ahli waris dari Kampung Bojong Malaka memasuki babak baru. Berawal dari sengketa lahan yang melibatkan klaim kepemilikan dan hak waris, para ahli waris ini harus menghadapi tantangan berat, baik dari segi hukum maupun sosial. Dalam perjalanan mereka yang penuh liku, sempat muncul anggapan dari kuasa hukum Kementerian Agama (Kemenag) yang menuding bahwa para ahli waris ini adalah “pemain lama,” yang telah lama berjuang di panggung hukum. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, perjuangan ini bukan hanya tentang merebut hak waris, melainkan tentang memperjuangkan nilai-nilai keislaman, sejarah, dan identitas budaya yang terkandung dalam tanah tersebut.
Sementara itu, publik seakan tertutup mata di tengah perjalanan panjang ini, malah muncul pula isu yang cukup mengundang perhatian publik, yaitu mengenai nasab Ba’alawi yang disebut-sebut “rungkad.” Pertanyaan yang muncul adalah, seberapa relevankah perdebatan tentang nasab di tengah tantangan besar yang dihadapi umat Islam di Indonesia, terutama terkait dengan potensi pendidikan Islam yang bisa menjadi mercusuar dunia?
Polemik mengenai nasab ini, meski menjadi isu yang digulirkan di kalangan elit, sebenarnya menyentuh hal-hal yang lebih mendalam tentang identitas dan otoritas dalam tradisi Islam. Namun, apakah masih relevan untuk terus memperdebatkan siapa yang lebih mulia berdasarkan nasab, sementara umat Islam di Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk memimpin dunia dalam bidang pendidikan Islam? yang sejalan dengan berdirinya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi sentral pendidikan agama Islam global, bahkan melampaui negara-negara seperti Bagdagh,Mesir, Turki dan Yaman yang telah lebih dahulu dikenal sebagai pusat ilmu Islam. UIII, dengan berbagai program pendidikan yang mencakup fiqih, tasawuf, bahasa, hukum dan bidang keilmuan lainnya, dapat menjadi pusat kajian yang mencetak generasi muda yang tidak hanya berkompeten dalam ilmu agama tetapi juga memiliki wawasan global bahkan dari mancanegara.
Dalam hal ini, kita bisa mencontohkan tokoh-tokoh seperti Syeikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin yang mendirikan Institut Agama Islam Tasikmalaya di Tasikmalaya. Dengan misi besar untuk mengembangkan pendidikan Islam, ia berhasil menarik perhatian mahasiswa dari luar negeri, menjadikan kampus tersebut sebagai salah satu tempat penting untuk studi Islam di Indonesia. Begitu pula dengan keberhasilan ESQ yang menjadikan Banten pada jamannya sebagai pusat pendidikan karakter dan spiritualitas yang melahirkan pemimpin-pemimpin unggul.
Namun, apa yang lebih penting untuk diperjuangkan saat ini adalah ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama umat Islam), bukan sekadar perdebatan mengenai siapa yang paling bernasab mulia atau siapa yang paling sah menjadi ahlussunnah wal jamaah. Seperti yang dikutip dalam lirik rap oleh Thufail al-Ghifari, seorang musisi Muslim, yang mengingatkan kita bahwa “Islam membunuh Islam menjadi pahala,” kita harus menyadari bahwa dalam banyak kasus, perselisihan di antara sesama umat Islam justru mengarah pada perpecahan dan melemahkan kekuatan kolektif, seperti kebisuan Mekah atas dera di palestina dan konflik Syiah Vs Sunni di Irak.
Dalam liriknya yang lebih jauh menyoroti realitas sosial, Thufail al-Ghifari menyentil ketegangan antara idealisme dan kenyataan sosial yang menggerogoti persatuan umat. Ia menggambarkan bagaimana kapitalisme berkolaborasi dengan kebiasaan budaya tertentu, menciptakan ketegangan di kalangan umat Islam yang seharusnya bersatu dalam semangat dakwah dan pengembangan peradaban hingga perekonomian.
Apakah dari rangkaian kegaduduhan konflik nasab Balawi hingga ketokohan FUad Plered, Kita harus Merenung dari Kampung Bojong Malaka? Dalam konteks ini, nampaknya memang harus merenungkan perjuangan para ahli waris di Kampung Bojong Malaka. Mereka, meski dalam keadaan yang sulit, memilih untuk mengesampingkan persoalan pribadi demi kemajuan pendidikan Islam di kampung halaman mereka. Di tengah gempuran modernitas, globalisasi, dan berbagai tantangan dunia, mereka memilih untuk fokus pada pembangunan yang lebih besar, yaitu pendidikan dan pengembangan umat.
Jika kita menilik lebih dalam, perjuangan mereka bukan sekadar soal merebut tanah atau mengklaim warisan. Ini adalah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik—untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam dapat terus berkembang dan memberi manfaat bagi banyak orang, bukan hanya bagi segelintir orang yang merasa memiliki legitimasi lebih berdasarkan darah atau nasab.
Oleh karena itu, dengan berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam, baik dalam konteks pendidikan maupun sosial-politik, sudah saatnya kita mengutamakan kualitas keilmuan, kebersamaan, dan ukhuwah Islamiah. Tugas kita adalah membangun peradaban yang tidak hanya berdasarkan klaim sempit tentang siapa yang lebih layak dianggap sebagai “ahli sunnah wal jamaah,” tetapi lebih pada kontribusi yang nyata untuk kemajuan umat, baik dalam ilmu pengetahuan, moralitas, maupun kebaikan sosial.
Keberadaan kampus-kampus seperti UIII dan berbagai institusi pendidikan Islam lainnya di Indonesia, serta dukungan kepada para pejuang pendidikan seperti yang dilakukan di Kampung Bojong Malaka, memberikan harapan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang tidak hanya kaya dengan tradisi keislaman, tetapi juga dengan kualitas pendidikan yang mampu menginspirasi dunia.(Red)