Dewan Rakyat Dayak: RUU POLRI dan Revisi KUHAP Dinilai Ancam Hak Konstitusional dan Keberadaan Masyarakat Adat

Markaberita.id | Jakarta, 22 Mei 2025 – Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU POLRI) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang menjadi agenda legislasi nasional 2024-2025 menuai kritik tajam dari masyarakat adat. Dewan Rakyat Dayak, melalui Ketua Umumnya, Bernadus, menyatakan bahwa kedua RUU ini berpotensi besar mengancam hak konstitusional, memperbesar risiko represi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang selama ini rentan dalam relasi kuasa negara dan korporasi.

“RUU POLRI dan KUHAP ini tidak hanya berpotensi mengabaikan hak konstitusional, tetapi juga memperbesar risiko represi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tegas Bernadus dalam pernyataan resminya hari ini. “Hal ini relevan mengingat masyarakat adat kerap berada dalam posisi rentan dalam relasi kuasa negara dan korporasi.”

Kritik ini berlandaskan pada kerangka hukum yang kuat, termasuk UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui masyarakat hukum adat, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang mengakui hutan adat sebagai wilayah adat. Secara internasional, kritik juga merujuk pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan ILO Convention No. 169.

Baca Juga  Korban Tertipu 7,8 Milyar! LQ Indonesia Law Firm Kembali Laporkan Dugaan Tindak Pidana Investasi Bodong Bisnis Sembako Dan Simpan Pinjam

RUU POLRI: Ekspansi Wewenang dan Potensi Represi

Dewan Rakyat Dayak menyoroti dua poin krusial dalam RUU POLRI:

* Ekspansi Wewenang dan Fungsi Intelijen: RUU ini memperluas tugas Polri ke fungsi intelijen dan keamanan siber tanpa mekanisme akuntabilitas dan pengawasan independen yang memadai.

* Dampak: Aktivitas tradisional masyarakat adat seperti ritual atau musyawarah dapat disalahartikan sebagai “perkumpulan liar.” Pemantauan digital terhadap komunitas adat dan aktivis juga dikhawatirkan akan melanggar privasi dan hak berekspresi.

* Perpanjangan Masa Dinas: Pasal yang mengatur perpanjangan masa dinas anggota Polri hingga 65 tahun dinilai akan memperkuat dominasi elite institusi dan menghambat regenerasi.

* Dampak: Berpotensi memperpanjang pola pendekatan keamanan yang represif terhadap konflik agraria dan adat, alih-alih mendorong penyelesaian yang adil.

Baca Juga  Ketum PPDI Sambut Baik Respons Cepat Gubernur NTB Usulkan Perubahan di Kepengurusan KDD

RUU KUHAP: Penangkapan Sewenang-wenang dan Pengabaian Hukum Adat

Revisi KUHAP juga menuai kecaman keras, terutama terkait:

* Penangkapan 1×24 Jam Tanpa Surat Perintah: Pasal ini memungkinkan penangkapan tanpa surat perintah hingga 1×24 jam dengan alasan “kebutuhan mendesak.”

* Dampak: Bertentangan dengan prinsip due process of law dan habeas corpus. “Frasa ‘kebutuhan mendesak’ sangat lentur dan rawan disalahgunakan, membuka pintu bagi kriminalisasi tokoh adat dan aktivitas sah seperti mempertahankan tanah adat,” jelas Bernadus.

* Minimnya Pengakuan terhadap Hukum Adat: RUU KUHAP tidak memberikan tempat bagi sistem peradilan adat sebagai mekanisme alternatif penyelesaian konflik.

* Dampak: Mengabaikan kearifan lokal dan efektivitas hukum adat yang seringkali lebih cepat dan berkeadilan substantif dalam komunitas.

Dampak Struktural dan Mendesak Rekomendasi

Jika kedua RUU ini disahkan, dampaknya terhadap masyarakat adat dinilai akan bersifat struktural:

* Kriminalisasi Struktural: Pola pemaksaan hukum negara atas komunitas adat berpotensi menggeser cara hidup dan nilai-nilai kolektif.

Baca Juga  Rakernas Kejaksaan RI Tahun 2023 Menghasilkan “Jaksa Menjawab”, Program Baru Kejaksaan RI yang Lebih Humanis

* Ketimpangan Akses Keadilan: Mayoritas masyarakat adat tidak memiliki akses hukum yang memadai, sehingga penambahan wewenang aparat tanpa pengawasan hanya akan memperparah ketimpangan.

* Peningkatan Pelanggaran HAM: Potensi pelanggaran HAM seperti salah tangkap, intimidasi, hingga penyiksaan akan meningkat.

Mendesak legislator dan pemerintah, Dewan Rakyat Dayak merekomendasikan:

* Menunda pengesahan RUU POLRI dan KUHAP hingga dilakukan konsultasi publik menyeluruh, termasuk melibatkan komunitas adat.

* Menghapus pasal-pasal yang bertentangan dengan HAM dan konstitusi, khususnya terkait penangkapan tanpa surat perintah dan perluasan fungsi intelijen.

Bagi masyarakat sipil dan media, Bernadus mengajak untuk menggalang kampanye sosial dan memproduksi narasi tandingan. Sementara untuk komunitas adat, ia mendorong konsolidasi internal, pemahaman isi RUU, serta dokumentasi kasus kriminalisasi untuk mendukung pendampingan hukum kolektif.

“Reformasi hukum tidak boleh menjadi legitimasi penindasan baru,” tutup Bernadus, menyerukan agar hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi dalam setiap proses legislasi.(Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *