Menimbang Sekolah Rakyat di Tengah Urgensi Pendidikan Inklusif yang SOLID, Termasuk bagi Siswa Berkebutuhan Khusus

Markaberita.id | Jakarta – Inisiatif pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) dengan program Sekolah Rakyat (SR) untuk menjangkau anak-anak dari keluarga miskin ekstrem (AME) tentu dilandasi niat mulia. Namun, sebuah pertanyaan kritis yang muncul dari pengamat pendidikan baru-baru ini menggugah kita untuk menelisik lebih dalam efektivitas dan potensi implikasi jangka panjang dari pendekatan ini, terutama dalam konteks pendidikan yang setara dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa, termasuk Siswa Berkebutuhan Khusus (SBK).

Kekhawatiran akan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar kementerian, khususnya dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), yang secara struktural memiliki tanggung jawab atas pendidikan formal, adalah poin yang tak bisa diabaikan.

Selama ini, kita telah menyaksikan upaya sekolah-sekolah reguler, terutama sekolah negeri, dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif bagi SBK. Keberhasilan, meski dengan berbagai tantangan, menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita memiliki potensi untuk merangkul keberagaman semua jenis kebutuhan, termasuk kondisi ekonomi dan kebutuhan belajar yang spesifik.

Mengapa kemudian kita tidak memperluas cakupan inklusi ini secara lebih komprehensif untuk menyertakan tidak hanya SBK, tetapi juga anak-anak dari keluarga miskin ekstrem?

Baca Juga  Tok, Revisi RUU TNI Disahkan Seiring Pasal-Pasal Kontroversi

Gagasan untuk memperkuat pendidikan inklusif di sekolah reguler dengan dukungan yang memadai menawarkan sejumlah keunggulan bagi semua peserta didik.

Pertama, ini akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih holistik dan integratif, di mana interaksi antarsiswa dari berbagai latar belakang sosial ekonomi dan kemampuan belajar dapat menumbuhkan empati, pemahaman yang lebih baik, dan penerimaan terhadap perbedaan.

Kedua, pemanfaatan infrastruktur dan sumber daya yang sudah ada di sekolah reguler berpotensi lebih efisien dibandingkan membangun sekolah khusus SR dari nol, dan sumber daya ini dapat dialokasikan untuk memperkuat layanan dukungan bagi SBK dan siswa AME.

Ketiga, dengan fokus pada peningkatan kualitas sekolah reguler dan penambahan tenaga ahli seperti guru pembimbing khusus dan konselor, kita dapat memberikan dukungan yang lebih komprehensif tidak hanya bagi siswa AME, tetapi juga bagi SBK dan siswa lainnya yang membutuhkan.

Tentu, mengintegrasikan siswa AME dan memperkuat layanan bagi SBK ke sekolah reguler memerlukan perencanaan dan implementasi yang matang. Identifikasi siswa yang tepat oleh Kemensos, asesmen kebutuhan belajar SBK yang akurat, penambahan fasilitas yang memadai (termasuk aksesibilitas fisik dan sumber belajar yang terdiferensiasi), pelatihan guru untuk memahami kebutuhan spesifik siswa AME dan metode pembelajaran yang inklusif bagi SBK, serta dukungan psikologis dan sosial yang berkelanjutan adalah beberapa aspek krusial yang perlu diperhatikan. Namun, tantangan ini bukanlah hal yang mustahil untuk diatasi, terutama jika ada kolaborasi yang solid dan sinergis antara Kemensos dan Kemdikbudristek, serta pelibatan aktif tenaga ahli pendidikan inklusif.

Baca Juga  Presiden Jokowi Silaturahmi dengan Wartawan Istana

Kekhawatiran akan potensi diskriminasi dan tujuan akhir pendidikan yang setara bagi semua siswa juga menjadi pertimbangan penting. Menciptakan dua jalur pendidikan yang berbeda untuk kelompok siswa yang berbeda, padahal output yang diharapkan sama (ijazah level 2 KKNI), berpotensi melanggengkan stigma dan kesenjangan, baik bagi siswa AME maupun SBK. Alih-alih membangun sekat, kita seharusnya berupaya meruntuhkannya melalui sistem pendidikan yang adil dan merata, yang mengakomodasi keberagaman kebutuhan belajar.

Investasi besar dalam membangun sekolah khusus SR patut dipertanyakan efektivitasnya jika materi ajar dan kompetensi guru tidak jauh berbeda dengan sekolah reguler.

Lebih bijak rasanya jika anggaran tersebut dialokasikan untuk memperkuat sistem pendidikan inklusif yang sudah ada, meningkatkan kualitas sekolah reguler agar mampu menerima dan mendidik semua jenis siswa, dan memberikan dukungan spesifik yang dibutuhkan oleh siswa AME dan SBK melalui program-program yang terintegrasi.

Baca Juga  Peringatkan Cuaca Ekstrem di Beberapa Wilayah, BMKG Ingatkan Warga untuk Waspada 

Pada akhirnya, tujuan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan, tanpa meninggalkan satu anak pun.

Pendidikan inklusif yang berkualitas dan didukung oleh kolaborasi antar sektor yang kuat, dengan fokus yang jelas pada pemenuhan kebutuhan belajar setiap individu, termasuk SBK, adalah fondasi yang lebih kokoh untuk mencapai tujuan tersebut, dibandingkan dengan menciptakan fragmentasi melalui program-program yang berpotensi tumpang tindih.

Mari kita kedepankan sinergi dan integrasi demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih adil dan merata, di mana setiap anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau kebutuhan belajarnya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang secara optimal.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *