Adat Budaya Minang di Tanah Betawi: Menjaga Nilai Tradisional dalam Alam Global Oleh: Muhammad Rozi (Ketua Pemuda GEBU Minang)

Markaberuta id | Jakarta, 18 Juni 2025 – Sebagai Ketua Pemuda GEBU Minang, saya menyaksikan sebuah “gelombang” yang perlahan namun pasti mengikis fondasi kebudayaan kita, khususnya di kalangan generasi muda Minang yang tumbuh besar di Jakarta. Tatanan nilai adat dan keluhuran budaya, yang seharusnya menjadi falsafah hidup dan ciri khas generasi, seolah mulai memudar, bahkan tak jarang terlupakan. Ini bukan sekadar kekhawatiran, melainkan sebuah panggilan “alam takambang” yang mendesak.

Mari kita tengok. Anak-anak Minang di Jakarta, saat di bangku sekolah, tentu akrab dengan muatan lokal yang mengajarkan budaya Betawi. Ini adalah hal yang benar dan patut kita hargai, karena kita berada di Tanah Betawi; menghormati budaya lokal adalah keniscayaan dan bentuk penghargaan tertinggi, sebagaimana pepatah “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.” Namun, di sisi lain, sentuhan terhadap budaya Minang menjadi sangat minim. Ditambah lagi, dunia digital saat ini, dengan dominasi serial drakor dan short-video dari berbagai belahan dunia, secara tak sadar membentuk cara pandang dan gaya hidup generasi muda yang semakin jauh dari nilai-nilai tradisional. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pembelajaran budaya sendiri.

Ironisnya, seringkali orang tua perantau Minang di Jakarta juga terperangkap dalam kesibukan atau mungkin merasa kikuk untuk secara aktif mengajarkan nilai-nilai adat kepada anak-anak. Organisasi dan komunitas Minang yang ada pun barangkali belum sepenuhnya optimal dalam merangkul generasi muda untuk kembali menyelami kekayaan warisan leluhur. Kondisi ini menciptakan jurang besar antara identitas Minang yang seharusnya melekat, dengan realitas hidup di kota metropolitan.

Baca Juga  Front Disabilitas Anti Korupsi Minta KPK Segera Periksa Kementrian Agama 

Bayangkan sejenak, jika saja para putra-putri terbaik Minang di masa lalu seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, atau Haji Agus Salim, yang notabene adalah para perantau ke Jakarta di zamannya, tidak memiliki tameng nilai budaya dan falsafah Minang yang terinternalisasi kuat dalam jiwa mereka. Jika mereka terpapar pada pop culture atau pengaruh asing yang masif tanpa bekal nilai luhur dari Ranah Minang, mungkin mereka tak akan mampu berdiri tegak melawan penjajah. Mungkin mereka hanya akan menjadi orang kebanyakan yang menghamba pada zaman atau bahkan terbawa arus kepentingan asing, tanpa jejak kontribusi monumental bagi perjuangan kemerdekaan. Kekuatan mereka bukan hanya pada kecerdasan, tetapi pada karakter yang dibentuk oleh nilai-nilai adat yang kokoh.

Maka, jelaslah bahwa mempelajari adat dan budaya bagi generasi muda Minang di perantauan bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Di tengah arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan, memiliki akar budaya yang kokoh adalah anugerah tak ternilai. Ia membentuk identitas diri yang kuat, memberikan fondasi siapa mereka di tengah keragaman, dan menjadi kompas moral serta etika dalam menghadapi berbagai tantangan hidup di kota besar maupun skala global. Anak muda yang mengenal raso jo pareso, yang memahami pentingnya malu jo sopan, serta nilai musyawarah mufakat seperti “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat,” akan memiliki fondasi karakter dan integritas yang tangguh. Inilah tameng yang tak terlihat namun ampuh.

Baca Juga  KDM Sampaikan Belasungkawa Atas Musibah Ledakan Amunisi di Garut

Lantas, bagaimana kita bisa menjaga agar akar tak tercabut di tengah badai globalisasi? Di sinilah peran penting pendidikan luar sekolah. GEBU Minang, khususnya Bidang Pemuda, merasa terpanggil untuk mengisi kekosongan ini. Kami percaya, dengan kurikulum yang matang dan kemasan yang menarik – bukan lagi sekadar ceramah kaku, melainkan melalui lokakarya interaktif, penggunaan media digital kreatif, cerita-cerita yang relevan, hingga diskusi santai tentang filosofi adat seperti “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” – kita bisa membangkitkan kembali semangat berbudaya Minang. Ini bukan hanya tentang menghafal, tapi memahami, merasakan, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Seperti yang pernah dikatakan oleh sosiolog budaya Stuart Hall, “Perhaps instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity as a ‘production’, which is never complete, always in process, and always constituted within, not outside, representation.” Yang dapat dimaknai, identitas Minang di Jakarta bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses dinamis yang bisa terus dibentuk dan diperkaya, tanpa kehilangan esensi aslinya.

Pemikiran ini bukan hanya tentang kebaikan bagi internal masyarakat Minang semata. Kehadiran beragam budaya adalah kekuatan bagi kota Jakarta itu sendiri. Jakarta sebagai kota dengan visi global, seharusnya menjadi panggung tempat budaya-budaya yang ada diberi ruang untuk tampil, tumbuh, dan berkembang sebagai kekayaan khazanah kota. Tentu saja, dengan tetap menghormati dan menghargai budaya Betawi sebagai budaya lokal yang menjadi tuan rumah. Kita tidak sedang mempertentangkan, melainkan ingin melengkapi.

Baca Juga  Bupati Wali Kota Jadi Model Peragaan Wastra Khas Jabar

Urbanis legendaris Jane Jacobs pernah menulis, “Dull, inert cities, it is true, do contain the seeds of their own destruction and little else. But lively, diverse, intense cities contain the seeds of their own regeneration, with energy enough to carry over for problems and needs outside themselves.” Jakarta yang kaya akan mozaik budaya (termasuk kontribusi dari perantau Minang) akan menjadi kota yang lebih vital, inovatif, dan menarik. Keragaman bukan beban, melainkan daya tarik, sumber kreativitas, bahkan potensi wisata yang tak terbatas.

Maka, mari kita bersama-sama. Ninik Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama, Orang tua, sesepuh, organisasi kemasyarakatan, dan tentu saja generasi muda Minang itu sendiri. Mari kita rajut kembali benang-benang kebudayaan yang mulai lusuh. Mari kita jaga agar “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” tidak hanya menjadi pepatah, melainkan menjadi denyut nadi kehidupan, membimbing langkah-langkah kita di Tanah Betawi yang kita cintai ini, sambil tetap berkiprah dalam alam global, menjadi generasi Minang yang berakar kuat dan berdampak besar. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *