Dari Dapur Nusantara, Ada Banyak yang Bisa Kita Nikmati
Bekasi, markaberita.id – Indonesia merupakan negara kepulauan yang terhampar luas di garis khatulistiwa dan jalur Cincin Api Pasifik. Letak geografis ini membuat Indonesia beriklim tropis dan memiliki gunung-gunung berapi, menjadikan tanah Indonesia subur dan cocok untuk pertanian. Tanaman pertanian di Indonesia sangat beragam, mulai dari tanaman perkebunan, hortikultura, hingga tanaman pangan. Sayangnya, meski tanahnya subur, sektor pertanian Indonesia tetap mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini diakibatkan oleh berkurangnya minat anak muda terhadap profesi petani, alih fungsi lahan pertanian, perubahan iklim yang semakin dinamis, serta kendala-kendala produksi yang belum dapat diatasi secara menyeluruh.
Salah satu produk pertanian yang mengalami penurunan adalah tanaman pangan padi. Beras atau biji padi yang sudah digiling merupakan sumber karbohidrat utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hampir setiap rumah tangga menjadikan nasi sebagai makanan pokok harian. Namun, seiring waktu, tantangan dalam produksi padi semakin besar. Menurut BPS, produksi beras pada tahun 2024 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan mencapai 30,62 juta ton. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 480,04 ribu ton dibandingkan tahun sebelumnya. Di saat yang sama, jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan. Menurut BPS, jumlah penduduk Indonesia di pertengahan tahun 2024 mencapai 281,6 juta jiwa. Angka ini mengalami kenaikan sebanyak 2,9 juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah penduduk ini akan menambah tekanan permintaan konsumsi masyarakat terhadap produksi beras, membuat jumlah produksi tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan tersebut. Akibatnya, pemerintah perlu mengimpor beras untuk mengatasi kekurangan ini.
Padahal, selain beras, Indonesia memiliki beragam tanaman pangan sumber karbohidrat lain yang tersebar di berbagai daerah. Setiap daerah memiliki komoditas unggulannya masing-masing. Di pulau Jawa misalnya, berdasarkan hasil penelitian oleh Drian Nur Dika (2019), terdapat komoditas kedelai di Banten, ubi jalar di Jawa Barat, jagung di Jawa Tengah, ubi kayu di DI Yogyakarta, serta jagung dan kacang hijau di Jawa Timur. Begitu beragam komoditas tanaman pangan yang ada di Nusantara ini, namun mengapa hanya nasi yang dijadikan pendamping lauk kita?
Masalahnya, nasi sudah menjadi makanan pokok sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun. Ungkapan seperti “belum kenyang kalau belum makan nasi” membuat masyarakat Indonesia terbiasa merasa belum benar-benar kenyang apabila belum mengkonsumsinya. Selain itu, umbi-umbian seperti singkong kerap dianggap remeh sebagai makanan orang miskin. Padahal, di masa panceklik atau penjajahan dahulu, umbi-umbian menjadi komoditas penyelamat, yang membuat masyarakat Indonesia dapat melewati masa-masa sulit tersebut.
Meski demikian, diversifikasi pangan pengganti beras perlu dilakukan sebagai langkah strategis untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Ketika pasokan beras terganggu atau harga melonjak, masyarakat bisa beralih pada sumber karbohidrat lain seperti singkong, ubi, kentang, jagung, sorgum, atau kacang-kacangan. Nilai gizi pangan-pangan ini pun tidak kalah, bahkan dalam beberapa hal lebih unggul dibandingkan beras. Berdasarkan Tabel Komposisi Pangan Indonesia tahun 2017 yang diterbitkan oleh Direktorat Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, kentang segar mengandung lebih banyak air, kalium, dan vitamin C; singkong segar kaya akan serat dan vitamin C; sementara kacang kedelai mengandung protein, serat, kalsium, fosfor, dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan beras giling. Selain itu, komoditas seperti singkong, ubi, dan jagung juga lebih mudah dibudidayakan karena lebih tahan terhadap cuaca ekstrem, serta umumnya memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan beras.
Diversifikasi pangan bukan berarti meninggalkan nasi sepenuhnya, melainkan memberi ruang pada komoditas pangan lokal lain untuk ikut berkontribusi dalam pemenuhan gizi masyarakat Indonesia dan mendukung ketahanan pangan nasional. Bayangkan jika 3x dalam seminggu kita menyajikan makanan berbahan dasar ubi, singkong, atau jagung. Tidak hanya variasi rasa yang kita dapatkan, namun kita juga telah melakukan aksi nyata dalam mendorong ketahanan pangan. Dengan ini, tekanan pemenuhan permintaan beras akan menurun, membuat negara kita tidak perlu mengimpor untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan dalam jangka panjang, hal ini bisa membantu memperkuat ekonomi lokal karena petani dan pelaku usaha lokal akan lebih diberdayakan. Langkah ini pernah diterapkan melalui program “One Day No Rice” di Depok dan beberapa kota lainnya, yang mendorong masyarakat untuk tidak mengonsumsi nasi satu hari dalam seminggu sebagai bagian dari gerakan diversifikasi pangan.
Upaya diversifikasi pangan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha perlu terlibat dalam mendukung upaya tersebut. Masyarakat bisa mulai dari dapur mereka, dengan menyajikan variasi menu dari pangan lokal sebagai makanan sehari-hari keluarga, mengenalkan kepada anak jenis pangan lokal yang ada di Nusantara, atau membeli produk pangan lokal di pasar tradisional maupun modern. Ini sudah merupakan langkah kecil yang berarti, yang jika dilakukan secara luas bisa memberikan dampak besar.
Sekolah atau institusi pendidikan juga dapat berperan melalui program edukasi pentingnya variasi pangan, kelas memasak, atau lomba kreasi masakan dari bahan pangan lokal selain nasi. Program-program ini dapat memperluas pengetahuan dan membentuk kesadaran masyarakat bahwa makanan pokok tidak harus selalu nasi. Terdapat banyak pilihan pangan lain yang sama bergizinya, bahkan lebih beragam dalam rasa dan penyajian. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong di Kampung Jeflio, Papua Barat. Melalui penyuluhan dan pelatihan, masyarakat diajarkan memanfaatkan sagu yang sebelumnya hanya diolah menjadi papeda, menjadi tepung sagu kering yang dapat diolah menjadi beragam makanan seperti kue bangket, kue kembang goyang, bolu kukus, hingga mie sagu.
Pemerintah dapat memberi dukungan kepada petani lokal dalam prosesnya mulai dari hulu sampai hilir. Seperti penyediaan benih unggul, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi yang memadai, memberi pelatihan budidaya yang lebih efektif dan efisien, serta membantu mempromosikan pangan lokal tersebut. Selain itu, melakukan riset mengenai pangan lokal sebagai alternatif juga dapat memperkuat kebijakan diversifikasi ketahanan pangan ini. Ketersediaan data yang kuat dan pemetaan wilayah komoditas penting untuk mendukung keberlanjutan produksi pangan lokal. Pemerintah juga dapat berkolaborasi dengan institusi pendidikan untuk mengembangkan alternatif lain sebagai bentuk inovasi dalam diversifikasi pangan. Contohnya, beras analog berbahan dasar sorgum, jagung, atau singkong yang digagas oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Inovasi ini dapat didukung lebih lanjut pengujian dan penerapannya oleh Kementerian Pertanian maupun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Pelaku usaha juga tidak kalah penting dalam mendorong diversifikasi ini. Di tangan pelaku usaha yang kreatif dan inovatif, pangan lokal tersebut dapat menjadi makanan kekinian yang menarik. Contohnya, singkong bisa diolah menjadi bolu, keripik, brownies, bahkan boba alami. Ubi bisa menjadi donat, cookies, atau bahkan mie. Dengan pengemasan yang menarik dan pemasaran digital yang tepat, pelaku usaha dapat membuka pasar untuk pangan lokal sekaligus memperkenalkan kepada berbagai kalangan, inovasi makanan lezat dari pangan Nusantara.
Diversifikasi pangan bukan hanya soal variasi makan, namun juga bentuk cinta atau rasa syukur kita terhadap hasil bumi Nusantara. Kita tidak perlu menunggu krisis datang untuk mulai melakukan diversifikasi pangan. Yang kita perlukan adalah kesadaran dan kemauan untuk membuka kembali peta rasa kita terhadap kekayaan pangan negeri ini. Karena dari dapur Nusantara, ada banyak yang bisa kita nikmati. Bukan hanya sekadar rasa, tapi juga cinta kita terhadap pangan Nusantara, serta bentuk dukungan kita terhadap ketahanan dan keberlanjutannya di masa depan.**
Penulis Artikel: Mutiara Nuraisyatul Adawiyah
Universitas: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas: Fakultas Sains dan Teknologi
Semester: 2