Ketika Hutan Gunung Tak Lagi Milik Kita – Dalih “Open Trip” dan Cengkeraman Oligarki

Markaberita.id | Jakarta, 3 Mei 2025 – Hutan gunung, selama ini kita kenal sebagai benteng terakhir keaslian alam, rumah bagi keanekaragaman hayati yang tak ternilai, dan oase bagi jiwa yang mencari ketenangan. Namun, belakangan ini, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan: masuknya kekuatan oligarki ke jantung wilayah konservasi ini, disamarkan dengan manis di balik istilah “Open Trip”.

“Open Trip”, sebuah konsep yang mulanya lahir dari semangat berbagi biaya dan pengalaman berpetualang, kini telah bergeser menjadi pintu masuk bagi kepentingan segelintir elite. Dengan dalih mempromosikan pariwisata, “Open Trip” skala besar yang didanai oleh korporasi atau individu dengan modal tak terbatas mulai merangsek. Mereka tidak hanya membawa rombongan besar, tetapi juga infrastruktur yang tidak selaras dengan daya dukung lingkungan. Glamping mewah, kafe-kafe instagramable yang masif, hingga pengembangan fasilitas pendukung lainnya mulai menjamur di area-area yang seharusnya dijaga ketat.

Baca Juga  Hasil Survei Terkini Jelang Pilkada Papua Tengah 2024: Willem Wandik-Aloysius Giyai Unggul Signifikan Dengan Elektabilitas 65,6%

Yang lebih miris, di balik gemerlap promosi “wisata alam lestari”, terselip motif ekonomi yang jauh lebih besar. Lahan-lahan di sekitar hutan gunung yang sebelumnya hanya diminati oleh masyarakat lokal atau pegiat lingkungan, kini menjadi incaran para investor rakus. Harga tanah melambung, masyarakat adat terpinggirkan, dan akses publik terhadap alam yang semestinya menjadi hak bersama, perlahan-lahan dibatasi dan dikapitalisasi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak dari “pengembang” ini memiliki koneksi erat dengan lingkaran kekuasaan, memudahkan perizinan, dan memuluskan jalan bagi eksploitasi.

Ini bukan sekadar masalah pengelolaan pariwisata. Ini adalah wajah lain dari cengkeraman oligarki yang merambah sektor sumber daya alam, kali ini dengan membungkusnya dalam narasi “pemberdayaan ekonomi” dan “pengenalan alam”. Dampaknya? Kerusakan ekosistem yang tak terhindarkan, erosi nilai-nilai konservasi, hilangnya kearifan lokal, dan terputusnya hubungan batin masyarakat dengan alamnya.

Baca Juga  Ketum PWDPI Minta KPK Bongkar Dugaan Korupsi Subsidi Enerji 386 Triliun Per Tahun Korupsi

Pemerintah dan para pemangku kebijakan tidak boleh berpangku tangan. Perlu ada evaluasi ulang yang komprehensif terhadap kebijakan perizinan di kawasan hutan gunung. Prinsip kehati-hatian dan daya dukung lingkungan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pelengkap formalitas. Transparansi dalam setiap proyek pengembangan harus ditegakkan, dan partisipasi aktif masyarakat lokal serta pegiat lingkungan harus didengarkan.

Masyarakat juga perlu semakin kritis. Jangan sampai kita terbuai dengan janji-janji manis “pengalaman unik” yang ditawarkan “Open Trip” skala besar, tanpa menyadari dampak jangka panjang yang ditimbulkannya. Mari kita ingat, hutan gunung adalah warisan yang harus kita jaga bersama, bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang.

Baca Juga  KPMJ: Kami akan Telusuri Pihak-Pihak yang Mengatasnamakan dari Lembaga Anti Korupsi

Jika kita biarkan oligarki terus menancapkan kukunya di hutan gunung kita, maka tak lama lagi, benteng terakhir keaslian alam ini akan runtuh, menyisakan penyesalan yang tak berkesudahan. Ini adalah panggilan darurat untuk bertindak, sebelum hutan gunung benar-benar tak lagi milik kita, melainkan milik mereka yang punya uang dan kekuasaan.(Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *