Markaberita.id | Jakarta, 24 Juni 2025 – Data terbaru dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menunjukkan bahwa dari 285 tersangka kasus narkotika yang diamankan sepanjang April hingga Juni 2025, 29 di antaranya adalah perempuan, merupakan sebuah fenomena yang patut menjadi perhatian serius. Angka yang mencakup sekitar 20 persen ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari dinamika sosial yang kompleks dan perlu diurai secara mendalam.
Selama ini, narasi seputar kejahatan narkotika kerap didominasi oleh figur laki-laki. Namun, data BNN ini membuktikan bahwa perempuan tidak lagi hanya menjadi korban pasif, melainkan semakin terlibat aktif dalam jaringan peredaran gelap narkotika, baik sebagai kurir, pengedar, bahkan mungkin bandar. Peningkatan persentase ini menuntut kita untuk mengkaji ulang asumsi-asumsi lama dan mencari tahu akar masalah yang mendorong perempuan terjerumus ke dalam lingkaran setan ini.
Beberapa faktor diduga kuat berkontribusi pada fenomena ini, yang semuanya berakar pada kondisi sosial yang kompleks.
Pertama, kerentanan ekonomi seringkali menjadi pendorong utama. Desakan kebutuhan finansial, terutama bagi perempuan kepala keluarga atau mereka yang menghadapi tekanan ekonomi, dapat membuat tawaran keuntungan instan dari jaringan narkotika terasa menggiurkan, meskipun berisiko tinggi. Ini adalah cerminan dari ketimpangan ekonomi dan kurangnya akses terhadap peluang yang setara bagi perempuan.
Kedua, peran gender dan relasi kuasa juga patut dipertimbangkan. Perempuan mungkin dimanfaatkan oleh jaringan narkotika karena dianggap tidak terlalu mencurigakan atau lebih mudah dimanipulasi. Ada pula kemungkinan bahwa keterlibatan mereka dipicu oleh hubungan emosional atau ketergantungan pada pasangan yang terlibat narkotika. Ini menunjukkan bagaimana norma sosial dan stereotip gender dapat membuat perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi.
Ketiga, minimnya akses terhadap informasi dan edukasi tentang bahaya narkoba juga dapat menjadi faktor. Keterbatasan pengetahuan tentang konsekuensi hukum dan dampak buruk narkotika terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat dapat membuat perempuan rentan dibujuk atau terjerat tanpa menyadari sepenuhnya risiko yang dihadapi. Ini menyoroti pentingnya pendidikan dan kesadaran publik dalam mencegah penyalahgunaan narkoba.
Keempat, stigma sosial dan kurangnya dukungan bagi perempuan yang menghadapi kesulitan hidup juga bisa mendorong mereka mencari jalan pintas, yang ironisnya justru menjerumuskan mereka lebih dalam ke jurang permasalahan. Kurangnya sistem dukungan sosial dan stigma negatif terhadap perempuan yang mengalami masalah dapat membuat mereka merasa terisolasi dan putus asa.
Fenomena ini adalah alarm bagi kita semua. Penanganan kasus narkotika tidak bisa lagi hanya berfokus pada pendekatan represif semata. Diperlukan strategi yang lebih komprehensif dan gender-responsif. BNN dan aparat penegak hukum perlu mengembangkan metode identifikasi dan intervensi yang mempertimbangkan kerentanan spesifik perempuan. Selain itu, program rehabilitasi dan resosialisasi harus dirancang agar lebih sesuai dengan kebutuhan perempuan, termasuk dukungan psikologis, pelatihan keterampilan, dan pendampingan pasca-rehabilitasi.
Lebih jauh, pencegahan harus menjadi prioritas utama. Edukasi tentang bahaya narkoba perlu digalakkan secara masif, menyasar seluruh lapisan masyarakat, termasuk perempuan di komunitas rentan. Pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program-program kewirausahaan dan pelatihan kerja juga krusial untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap godaan jaringan narkotika. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan keluarga harus bersinergi menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi perempuan dari jerat narkoba.
Meningkatnya keterlibatan perempuan dalam kasus narkotika adalah cermin dari permasalahan sosial yang lebih besar. Mengatasi fenomena ini berarti mengatasi kemiskinan, ketidaksetaraan gender, kurangnya akses pendidikan, dan rapuhnya sistem dukungan sosial. Ini adalah panggilan untuk bertindak, bukan hanya untuk memberantas kejahatan, tetapi juga untuk melindungi dan memberdayakan perempuan demi masa depan Indonesia yang lebih sehat dan bebas narkoba.(Red).