Kawin Paksa BTN Syariah Dan Bank Muamalat: Apakah Menggerus Dana BPKH?, Oleh : Ichsanuddin Noorsy

Jakarta, Markaberita.id

Isu “kawin paksa” BTN Syariah dan Bank Muamalat terus bergulir. Kehendak kawin paksa ini lebih merupakan
keputusan subyektif pemegang kekuasaan, baik Meneg BUMN, Kemenag, dan OJK sebagai pengawas
perbankan dan industri keuangan.

Mungkin sebagian komisioner Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
sendiri mengambil sikap, “yang penting jabatan saya aman”. Mereka berhadapan dengan Menteri Agama
yang signifikan mempengaruhi kinerja BPKH.

Kawin paksa ini juga menjadi tanda tanya besar. Kenapa Unit Usaha Syariah (UUS) BTN Syariah tidak
digabungkan saat Bank Syariah Mandiri disatukan dengan BRI Syariah dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah
Indonesia (BSI).

Kemeneg BUMN mempunyai alasan untuk menyergah pertanyaan ini. Tapi apapun alasan itu,
tidak digabungkannya UUS BTN Syariah dengan bank Syariah “plat merah” menunjukkan ada masalah
tersendiri dan memberi keuntungan atau manfaat kepada kalangan tertentu. Saat itu terdengar aspirasi
publik bahwa dikehendaki satu bank Syariah yang khusus melayani properti, khususnya pembiayaan
perumahan bagi muslim yang tidak ingin terkena riba. Kini BSI mempunyai asset Rp 354 triliun.

Baca Juga  Panpel Bekasi Mencari Pemimpin Melaporkan Kesiapan Kepada Ketum THMP

Sementara jika BTN Syariah digabung dengan Bank Muamalat, asetnya menjadi sekitar Rp114,6 triliun sebagai
pejumlahan aset BTN Syariah Rp48,41 triiun dengan aset Bank Muamalat Rp66,19 triliun.
Kini jumlah pembiayaan BTN Syariahnya mencapai Rp35,79 triliun.

Pembiayaan bermasalahnya sendiri
mencapai 3,07 persen, meningkat dibanding September 2022 yang hanya 0,04 persen. Sedangkan jumlah
pembiayaan Bank Muamalat sekitar Rp 21,7 triliun dengan pembiayaan bermasalah 2,18 persen menurun
dibanding September 2022 yang berposisi 2,35 pesen. Maka total kinerja pembiayaan setelah kawin paksa
menjadi Rp57,5 triliun.
Jika dilihat dari angka-angka yang beredar di publik selain data di atas, penggabungan ini menyimpan
berbagai masalah. Misalnya penilaian korporasi, apakah berdasarkan nilai pasar atau nilai buku.

Jika dinilai
menurut harga pasar, maka berdampak pada pajak. Sedangkan nilai korporasi berdasarkan buku,
membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan. Baik nilai pasar maupun nilai buku membutuhkan konsultan
keuangan dan managemen yang menyita biaya tersendiri. Padahal ini tidak dikehendaki oleh kedua belah
pihak. Logikanya, di tengah perekonomian seperti sekarang, kenapa harus mengeluarkan biaya yang tidak
diperlukan, yang manfaat dan risikonya membutuhkan kajian lebih mendalam.

Baca Juga  Kapolres Subang Pimpin Peletakan Batu Pertama Renivasi Rumah Ibu Kasih Di Ds. Rancamulya

Di sisi lain kecukupan modal yang menurun akan mewajibkan para pemegang saham untuk menyetor. Bank
Muamalat kini kecukupan modalnya mencapai 29 persen akan menjadi sekitar 17 persen setelah kawin
paksa. Dalam pendekatan komersial, turunnya kecukupan modal ini tidak memberi daya tarik bisnis dan
mengurangi daya ekspansif korporasi sehingga membutuhkan injeksi modal. Artinya BPKH harus merogoh
kocek lagi.

Padahal hasil optimalisasi dana haji makin menurun yang diikuti dengan meningkatnya ongkos
naik haji (ONH). Sudah sejak lama saya menyampaikan, suatu saat BPKH akan mengalami mismatch. Artinya
hasil total optimalisasi tidak mencukupi lagi untuk mensubsidi ONH. Sementara masyarakat yang kurang
mampu akan menutup ONH, lalu menarik dananya disertai dengan kewajiban BPKH membayarkan hasil
opitimalisasi dana jamaah yang bersangkutan.

Dalam ungkapan yang lain, kawin paksa BTN Syariah dan Bank Muamalat akan membebani BPKH, yang
berarti membebani umat Islam yang ingin naik haji. Padahal penggabungan ini juga bermaksud
menghilangkan jejak pembiayaan bermasalah, sekaligus memberi manfaat bagi konsultan. Masalah lainnya
adalah masalah akulturasi korporasi BTN Syariah dan Bank Muamalat. Pengalaman Bank Mandiri, Bank
Permata, dan BSI yang ke semuanya merupakan hasil penggabungan, menunjukkan tidak mudahnya
menyelesaikan masalah intenal, termasuk kewajiban ”mencuci piring” atas berbagai produk pembiayaan. Di
tengah iklim politik tidak pasti seperti sekarang ini, rasanya bijaksana jika rencana kawin paksa ini dibatalkan.

Baca Juga  Bankir BCA Keluhkan Fenomena 'Mantab' Kuasai Perbankan, LPS: Saldo Ludes Tersisa Rp1,8 Juta

Lalu dihitung kembali secara kualitatif dan kuantitatif tentang manfaat dan risikonya. Apalagi jika berdampak
menggerus lagi dana BPKH, yang berarti memberi keuntungan bagi pihak tertentu. Saya pernah
menyampaikan hal ini beberapa waktu lalu. Dibutuhkan berbagai skenario untuk memperbesar bank syariah
di Indonesia. Dalam hal ini Komite Nasional Ekonomi dan Industri Syariah penting membuat peta jalan yang
realistis sehingga jumlah penduduk muslim yang 87,2 persen relevan dan signifikan dalam masalah posisi dan
peranan ekonomi Syariah di Indonesia. (Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *