Markaberita.id | Jakarta, Gelar “Gus” telah menjadi bagian penting dari tradisi pesantren, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai gelar kehormatan yang diberikan kepada anak-anak kiai, istilah ini mencerminkan penghormatan terhadap keluarga yang menjadi pusat pembelajaran agama dan moral. Namun, di tengah perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih egaliter, relevansi gelar ini dalam era modern mulai dipertanyakan. Apakah penghormatan berbasis garis keturunan masih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan meritokrasi yang kini dijunjung tinggi?
Secara etimologis, istilah “Gus” berasal dari kata Jawa “Bagus” yang berarti baik atau terhormat. Dalam budaya pesantren, gelar ini diberikan kepada anak kiai sebagai wujud penghormatan terhadap peran orang tua mereka sebagai ulama dan pendidik umat. Sebagai bagian dari tradisi Islam dan budaya Jawa, gelar ini menandakan penghormatan kepada pemimpin agama beserta keluarganya.
Namun, dalam praktiknya, gelar ini sering dianggap memberikan hak istimewa tertentu, termasuk legitimasi dalam kepemimpinan sosial atau keagamaan. Kritik pun muncul bahwa gelar “Gus” dapat melanggengkan hierarki berbasis keturunan yang dianggap bertentangan dengan prinsip Islam tentang kesetaraan dan keadilan.
Islam menekankan bahwa kualitas seperti kesalehan dan intelektualitas tidak diwariskan secara biologis. Sejarah mencatat banyak tokoh Islam yang mencapai kedudukan tinggi bukan karena garis keturunan, tetapi karena usaha keras, ilmu, dan pengabdian mereka.
Abu Bakr ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab: Keduanya bukan berasal dari keluarga religius, tetapi kesungguhan mereka dalam memahami Islam menjadikan mereka pemimpin besar umat.
Bilal bin Rabah: Mantan budak ini menjadi muazin pertama dalam Islam, membuktikan bahwa keimanan lebih utama daripada status sosial.
Imam Bukhari: Kesalehannya sebagai ahli hadits lahir dari kerja keras, bukan dari nama keluarganya.
Rabi’ah Al-Adawiyah: Wanita sufi ini dikenal karena cinta mendalam kepada Allah, meskipun berasal dari keluarga miskin.
Kisah anak Nabi Nuh yang tidak beriman dan Nabi Ibrahim yang menjadi nabi meskipun berasal dari keluarga penyembah berhala juga mempertegas bahwa keimanan tidak ditentukan oleh garis keturunan.
Di era modern yang menjunjung meritokrasi, penghormatan diberikan berdasarkan kompetensi, integritas, dan kontribusi nyata, bukan pada status keluarga. Maka, penggunaan gelar “Gus” perlu dipertimbangkan ulang agar tetap relevan dan bermakna.
Gelar ini masih dapat menjadi bagian dari identitas budaya pesantren, tetapi penggunaannya harus lebih selektif, menyesuaikan dengan kualitas pribadi penerima. Anak kiai yang menyandang gelar “Gus” seharusnya menunjukkan kapasitas intelektual, moral, dan kepemimpinan untuk memenuhi ekspektasi masyarakat.
Alih-alih menjadi simbol status keluarga, gelar “Gus” seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab moral dan intelektual yang harus dijaga dan ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang memprioritaskan karakter dan kontribusi individu di atas nama keluarga semata.
Dalam dunia yang semakin egaliter, mereposisi tradisi ini adalah langkah penting agar gelar “Gus” tetap relevan sebagai simbol penghormatan, tanggung jawab, dan pengabdian. Dengan demikian, gelar ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga cerminan nilai-nilai Islam yang progresif dan inklusif. (Red)