Memaknai serta menyikapi kemerdekaan dalam konteks Islam.

Markaberita.id- Jum’at, 16/08/2024 – Merupakan keniscayaan yang mutlak, jika mensyukuri nikmat adalah gerbang untuk memperoleh nikmat yang lainnya. Sedangkan mengkufuri nikmat akan mengundang murka Allah SWT.

 

Allah berfirman dalam kalamnya, yang artinya :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah(nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.

(QS.Ibrahim, 14:7)

 

Untuk itulah, berkenaan dengan momentum ‘HUT RI ke-79’ mari kita maknai hari kemerdekaan ini sebagai sarana demi lebih meningkatkan ketaqwaan hanya kepada Allah SWT. dengan cara bersyukur kepada-Nya.

 

Sholawat dan salam, semoga senantiasa dicurahkan kepada kekasih Allah, Nabi besar Muhammad Saw. sebagai sang Proklamator Sejati” yang telah sukses memerdekakan manusia dari belenggu hawa nafsu serta belenggu keburukan akhlaq jahiliyah.

Sehingga jika mengikuti sunnahnya ummat manusia akan merubah dirinya dari ranah kegelapan menuju ranah terang benderang yang insyaaAllah dapat menyelamatkan umat manusia dari kehidupan dunia maupun kehidupan akhiratnya kelak.

Baca Juga  Sinergitas Kumham Kalsel Bersama TNI Gelar Latihan Menembak

 

Indonesia merdeka dapat diraih bukan sekedar gugurnya para pahlawan di medan perang.

Indonesia bebas merdeka, bukan sekedar kaum imperialis diluluh-lantahkan oleh negara sekutu pada waktu itu.

Indonesia Hidup atau Mati lantas bebas dari belenggu penjajah, bukan sekedar hebatnya para pemimpin revolusi mengatur strategi perang.

Tetapi, Indonesia merdeka, pada hakikatnya ; karena berkat Rakhmat dan Anugrah Allah SWT.

Yang alhamdulillah, kemerdekaan Indonesia terwujud pada tanggal 17-Agustus-1945 silam.

 

Pertanyaannya :

“Benarkah kita sebagai bangsa Indonesia telah merdeka?”

 

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia secara syari’at diraih begitu berdarah-darah, ternyata hanyalah romantisme sejarah semata. Realitas yang kita lihat dan yang kita rasakan, selama 79 tahun Indonesia merdeka, tak lebih hanyalah peralihan dari satu penjajahan kepada berbagai bentuk penjajahan lainnya.

 

Dahulu para pahlawan kita menghadapi penjajahan pada aspek militer saja, tetapi sekarang ini, bangsa kita menghadapi multi penjajahan. Baik penjajahan pada bidang ekonomi, budaya, politik, hukum, pendidikan dan moral, yang sangat lebih berbahaya dibanding penjajah ala militer seperti dahulu kala. Bahkan bentuk penjajahan model sekarang jauh lebih komplek dan berdaya rusak tinggi. Karena selain fisik, juga merusak pola fikir dan karakter anak bangsa.

Baca Juga  Prajurit Kowad Jangan Lupakan Kodrat dan Harkat Martabat Wanita

 

Secara ekonomi, sampai saat ini kita belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap fihak Asing dan Aseng.

 

Dalam ranah budaya, identitas keislaman dan ketimuran bangsa Indonesia sudah terlebur dengan budaya barat.

 

Secara moralitas, dari pendidikan SD (Sekolah Dasar) sampai Akademi (Perguruan tinggi), dari masyarakat biasa sampai dengan level pejabat, tidak jarang banyak oknum yang terjerat tindak pidana korupsi, pornografi, serta tindakan tidak terpuji lainnya.

 

Maka benarlah, apa yang disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw:

“Bersabarlah kalian, Sesungguhnya tidak akan datang kepada kalian sebuah zaman, kecuali zaman tersebut lebih rusak dari sebelumnya, sampai kalian menemui Rabb kalian.

Baca Juga  Memperingati Harlah GMPI Ke 31 Tahun, PP GMPI Silaturahmi Serta Menghadiri Haul Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husen Al Habsyi

(HR. Bukhari)

 

Oleh karena itu, dalam memaknai kemerdekaan, “Marilah kita posisikan diri kita sebagai hamba Allah yang tetap ta’at dan beradab”.

Jika merayakannya silahkan saja, tanpa harus melupakan esensi makna haqiqi kemerdekaan itu sendiri.

 

Sebagai seorang muslim yang sejati, sebaiknya “mensyukuri nikmat kemerdekaan” jauh lebih mengena ketimbang merayakan secara berlebihan yang berdampak buruk menguras anggaran yang ada.

 

Mengapa?

Karena “Kemerdekaan itu adalah nikmat dari Allah SWT.”

 

“Setiap nikmat akan berpotensi menjadi dua perkara, jika disyukuri akan bertambah, jika dikufuri akan mendatangkan malapetaka”.

Tergantung bagaimana kita menyikapinya.

 

“Mengenang, konotasinya adalah terlena dalam romantisme sejarah.”

Sedangkan,

“Bersyukur merupakan gairah serta dapat menarik nikmat-nikmat yang lainnya”.

 

Penulis : Ade Rapujaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *