Ichsanuddin Noorsy, DPD Nebeng DPR

Jakarta,Markaberita.id

Amandemen empat kali UUD 1945 menjadi adalah UUD NRI 1945 (mengambil nama konstitusi yang sama, padahal sudah mengganti) memposisikan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD-RI) yang tidak setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR-RI). Padahal anggota DPD-RI dipilih oleh rakyat dan anggota DPR dipilih oleh rakyat setelah melalui keputusan parpol yang mencalonkannya. Artinya, dilihat bobot keterwakilan berdasarkan jumlah suara pemilih, setiap anggota DPD-RI mempunyai posisi lebih baik. Namun, ternyata norma dasarnya tidak memposisikan peranan DPD-RI setara dengan DPR-RI.

Hal itu terlihat dari norma dasar pasal 22D UUD NRI 1945. Ayat (1) pasal itu mengatur DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR tentang otonomi daerah, keuangan daerah dan sebagainya. Ayat (2)nya DPD ikut membahas RUU dimaksud. Lalu ayat (3) menyatakan, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tentang hal-hal dimaksud. Maka dapat dimengerti kenapa DPD-RI di bawah kepemimpinan Ginandjar Kartasasmita (2004-2009), Irman Gusman (2009-2014), dan Oesman Sapta Odang (2017-2019) mengalir seadanya. Dalam perspektif kinerja, DPD tampil sesuai norma tertulis sehingga rakyat tidak merasakan manfaat atas peranan kelembagaan negara.

Baca Juga  Bareskrim Selangkah Lagi Panggil Stella Mokoginta, Lq  Indonesia Law Firm Himbau Terlapor Kooperatif

Di bawah kepemimpinan AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, kinerja DPD menjadi tampak berbeda. Misalnya saat mengajukan ambang batas nol persen untuk pencalonan presiden, publik menilai DPD ingin membuka pintu demokrasi. Begitu juga saat membentuk Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, atau hal-hal lain yang menyenggol kepentingan istana atau oligarki bisnis, DPD menjadi muara aspirasi masyarakat dan menyuarakannya. Peranan DPD yang paling mengejutkan adalah saat Pidato Kenegaraan DPD pada Sidang Bersama MPR-DPR-DPD di 16 Agustus 2023. Saat itu Ketua DPD La Nyalla menyampaikan tentang pentingnya bangsa Indonesia melaksanakan sila keempat Pancasila dan kembali ke UUD 1945. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Hal yang mengejutkan banyak pihak, selain mengembalikan status dan peranan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, La Nyalla juga menyampaikan tentang pentingnya unsur perseorangan di DPR sehingga DPR tidak hanya terdiri dari parpol saja.

Baca Juga  JURISTO MINTA MAAF TELAH FITNAH ALVIN LIM DI PODCAST UYA KUYA

Berbagai kalangan menyambut positif pidato kenegaraan Ketua DPD RI La Nyalla. Apalagi DPD kemudian menerima aspirasi masyarakat pada 10 November 2023. Hanya ada dua-tiga tokoh yang menyahuti negatif, tepatnya tidak mau kembali ke UUD 1945. Padahal gagas kembali ke UUD 1945 itu diikuti dengan penyempurnaannya, yang salah satunya mengambil hal-hal positif dari empat kali amandemen. Semua itu berangkat dari temuan Ketua DPD RI selama kunjungan kerja ke pelbagai provinsi dan kabupaten/kota. Bahwa buah dari pelaksanaan UUD NRI 1945 adalah ketidak adilan dan kemiskinan struktural. (Red)

Semangat anggota-anggota DPD-RI meningkat, karena penyaluran aspirasi masyarakat dan keputusan politik DPD mendapat respon positif pemerintah dan ditindak lanjuti. Padahal, dilihat dari daya tawar dan daya paksa politik, posisi DPD lemah. Hal ini karena memang UUD NRI 1945 tidak memberi posisi politik DPD sebagai badan legislatif dengan segala kewenangannya yang dapat dieksekusi. Maka sesuai dengan pasal 22D itu, peranan legislatif DPD menebeng pada peranan legislatif DPR.

Baca Juga  Inggris Menang Dramatis 2-1 atas Slowakia di Babak 16 Besar Euro 2024

Ke depan peranan DPD tidak mugkin surut. Badan legislatif yang didesain sedemikian rupa itu membutuhkan kepemimpinan kolektif yang visioner, bernyali, setia pada nilai-nilai dan semangat kejuangan para pendiri republik, tegas untuk mengatakan tidak pada kebijakan politik yang menurunkan posisi tawar DPD, tidak terbeli oleh konsesi atau materi, tidak mau terperangkap dalam permainan politik yang menyandera,, kokoh dalam menjalankan amanah, dan terbuka untuk menerima aspirasi dari pelbagai kalangan masyarakat, lurus dalam berkata dan bertindak, juga bertanggung jawab. Tanpa syarat-syarat itu, DPD yang menebeng pada peranan legislatif DPR itu, akan makin kehilangan daya tawar politiknya. Modal politik DPD terletak pada kepemimpinannya, dan modal ini tidak mungkin dihambur-hamburkan hanya karena jargon-jargon politik bermuatan desepsi. Ketepatan mata hati, pikiran dan kecermatan menilai anggota-anggota DPD dalam memilih pemimpinnya jelas sangat menentukan harkat dan martabat DPD sendiri. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *