Markaberita.id | Jakarta – Pilkada DKI Jakarta 2024 telah menjadi ajang kontestasi politik yang mencuri perhatian publik, dan salah satu nama yang paling banyak dibicarakan adalah Ridwan Kamil. Namun, di tengah persaingan yang semakin ketat, Ridwan Kamil tampaknya semakin kesulitan dalam mengelola isu-isu perkotaan. Beberapa kebijakan yang ia tawarkan terkesan terburu-buru dan tidak terukur, yang justru menambah keraguan publik terhadap kemampuannya dalam menangani masalah Jakarta.
Contohnya adalah wacana pemindahan Balai Kota Jakarta ke kawasan utara yang diajukan Ridwan Kamil setelah debat ketiga. Usulan tersebut mendapat banyak kritik dari berbagai pengamat perkotaan. Berdasarkan penelusuran Markaberita, tidak ada satu pun pemerhati kota yang mendukung rencana tersebut, yang dinilai tidak efektif untuk mengatasi kemacetan di pusat Jakarta. Sebaliknya, kebijakan ini justru dianggap menunjukkan ketidakpahaman Ridwan Kamil tentang kompleksitas Jakarta, mengingat Balai Kota dan DPRD DKI Jakarta adalah dua lembaga yang saling terkait dan berada di pusat kota. Akses menuju Jakarta Utara pun dinilai lebih rawan kemacetan, yang justru berpotensi memperburuk masalah yang sudah ada.
Tidak mengherankan jika Geizs Chalifah, seorang loyalis Anies Baswedan, menyebut pemaparan Ridwan Kamil seperti mendengarkan orang yang sedang mendongeng. Setelah debat ketiga, elektabilitas Ridwan Kamil terus merosot, dan banyak pihak mulai mempertanyakan kelayakannya sebagai calon gubernur Jakarta. Bahkan, muncul pendapat bahwa sudah saatnya bagi Ridwan Kamil untuk “pulang kampung.”
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) setelah debat terakhir menunjukkan bahwa elektabilitas Ridwan Kamil terus menurun, meskipun sebelumnya ia sempat mendapatkan dukungan dari Novel Bamukmin dan FPI DKI Jakarta. Ini menjadi sebuah fakta paradoks, mengingat Ridwan Kamil didukung oleh mantan Presiden Joko Widodo, namun dukungan tersebut tampaknya tidak cukup untuk mengangkatnya. Bahkan, isu penjegalan terhadap Anies Baswedan yang dikaitkan dengan kelompok FPI dan NU non struktural turut memengaruhi dinamika Pilkada DKI Jakarta.
Keputusan Ridwan Kamil untuk menerima dukungan dari kelompok tersebut terlihat seperti pribahasa tidak ada rotan akar pun jadi, meski didorong oleh kebutuhan politik, tidak cukup memberikan dampak signifikan terhadap elektabilitasnya.
Hal ini semakin jelas dengan hasil survei SMRC yang menempatkan pasangan calon Pramono-Rano pada angka 46%, sementara pasangan Ridwan Kamil dan wakilnya, Rido, hanya meraih 39,1%. Pasangan calon Dharma Pongrekun-Kun Wardana bahkan meraih 5,1%. SMRC bahkan menyebut Pilkada DKI Jakarta berpotensi selesai dalam satu putaran.
Beberapa program yang diajukan Ridwan Kamil juga dinilai tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan program-program yang sudah ada sebelumnya. Contohnya, program “mobil curhat” yang digembar-gemborkan Ridwan Kamil dinilai mirip dengan program layanan kesehatan mental di Puskesmas yang sudah dijalankan sejak era Anies Baswedan, yang memberikan layanan kesehatan jiwa tanpa biaya mahal. Para loyalis Anies Baswedan menilai bahwa program ini lebih untuk menarik perhatian publik ketimbang menawarkan solusi nyata bagi warga Jakarta, lagi-lagi soal pendataan sebelum Manarik kebijakan atau merealisasikan program strategis daerah, Jakarta sudah punya semua mulai dari Kader Dasawisma hingga Jakarta Kini.
Jokowi Efek yang Justru jadi Beban
Salah satu faktor yang semula dianggap sebagai keunggulan Ridwan Kamil adalah dukungan dari Presiden Joko Widodo, yang dikenal dengan “Jokowi Effect” yang dapat menarik perhatian pemilih. Namun, hasil survei Charta Politika justru menunjukkan bahwa 64,4% warga Jakarta tidak memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang didukung Jokowi. Hal ini membuktikan bahwa “Jokowi Effect” justru menjadi beban bagi Ridwan Kamil dalam meraih dukungan publik.
Kemerosotan elektabilitas Ridwan Kamil dalam Pilkada DKI Jakarta menunjukkan bahwa ia belum mampu menghadapi tantangan politik yang kompleks di ibu kota. Dengan mempertimbangkan kesulitan dalam menangani isu perkotaan dan fakta bahwa elektabilitasnya terus merosot, mungkin sudah saatnya bagi Ridwan Kamil untuk pulang kampung dan melanjutkan kiprah politiknya di Jawa Barat. Langkah ini bukan berarti sebuah kegagalan, melainkan keputusan yang lebih realistis dan bijak untuk menjaga karier politiknya di masa depan.
Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, sempat menyarankan agar Ridwan Kamil lebih menghormati komitmennya kepada Partai Golkar, yang telah mendukungnya, dan mempertimbangkan untuk fokus pada Pilkada Jawa Barat sejak jauh-jauh hari.
Di sana Ridwan Kamil dinilai sudah memiliki basis dukungan yang kuat. Namun, ambisi Ridwan Kamil untuk maju di Jakarta, terutama setelah Anies Baswedan batal dicalonkan oleh sejumlah partai pendukungnya, tetap menguasai pikirannya.
Kini, dengan kondisi yang semakin sulit di Jakarta, Ridwan Kamil sebaiknya mempertimbangkan untuk “pulang kampung” ke Jawa Barat. Keputusan ini bisa menjadi langkah yang lebih cerdas untuk melanjutkan perjuangannya dalam politik nasional tanpa terjebak dalam persaingan yang semakin tidak menguntungkan di ibu kota. (Red)