Ichsanuddin Noorsy
Jakarta, Markaberita.id
Dua Puluh Lima tahun lalu saat banyak kalangan gegap gempita berteriak reformasi sebagai wujud semangat berdemokrasi, saya agak terhenyak. Ketika menjadi aktivis mahasiswa, pembelajaran mendalam yang saya peroleh dari ragam diskusi, dialog dengan senior dan dari berbagai sumber lain adalah, demokrasi selalu berhubungan dan berpijak pada akar budaya bangsa serta tunduk pada konstitusi.
Yang membuat saya terhenyak, apakah mereka yang berjuang untuk dan atas nama demokrasi mengerti dan menjiwai ke mana arah demokrasi yang mereka maksud ? Tentu tidak ada jawaban lengkap dan sempurna. Intinya, mereka ingin kebebasan dari belenggu sentralistik dan otoriternya rejim Soeharto, tepatnya rejim militer.
Sebelum berlanjut ke situasi sekarang, saya juga mempunyai pertanyaan lain: tidakkah di sebelah kebebasan (sosial, politik dan ekonomi) terdapat ketertiban (sosial, politik dan ekonomi). Kenapa gegap gempita itu hanya tentang kebebasan dan tidak peduli dengan ketertiban?
Pertanyaan ini SEmakin menguatkan keterhenyakan ketika saya mengikuti proses amandemen UUD 1945 dari tahun 2000-2001. Pertanyaan itu pula yang membuat saya menulis artikel bertajuk Reformasi Berbuah Krisis Konstitusi sekitar 12-13 tahun lalu.
Karena tema besar kesadaran akan krisis itu berwujud pada perilaku politik elit bangsa, maka saat Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan sebagai hasil Pemilu tahun 2004 mengemuka, saya bersama Revrisond Baswir menjumpai beberapa tokoh nasional.
Ada alasan penting tentang kebutuhan rujuknya beberapa tokoh nasional itu. Dijatuhkannya Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dan proses yang menghantar Megawati Soekarnoputri dari Wakil Presiden di Sidang Umum MPR 1999 lalu menjadi Presiden RI pada 23 Juli 2001 tentu menorehkan luka-luka politik. Luka-luka ini tidak perlu terjadi dan mungkin berpeluang membaik jika Abdurrahman Wahid sejak awal mendengar usulan saya.
Jauh sebelum tanggal dijatuhkannya, saya meminta Mas Dur, demikian panggilan saya pada Gus Dur, agar mau menjadi Guru Bangsa dan memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan kepada Megawati yang waktu itu sebagai Wakil Presiden. Selain itu saya juga mengusulkan diadakannya silaturahim kebangsaan antara tokoh-tokoh dari semua Parpol serta para ketua fraksi di DPR.
Presiden Abdurrahman Wahid menolak usulan itu.
Sementara saya juga mengerti ada skenario lain atas panggung kekuasaan Gus Dur, Amien Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Penolakan usulan itu memberi peluang pada saya untuk berangkat ke Washington. Di negeri paman Sam saya berjumpa dengan tokoh politik dari Republik dan Demokrat. Dalam perjumpaan itu saya menggugat: jika demokrasi selalu berhubungan dengan filosofi dan akar budaya suatu bangsa, kenapa AS “merekomendasikan dengan kuat dan penuh semangat” agar Indonesia menerapkan demokrasi liberal ?
Jawaban mereka tentu saja diplomatis dan diskusi menjadi tidak berujung disebabkan perbedaan filosofi dan akar budaya tentang demokrasi.
Pemahaman ini yang menyemangati saya tentang betapa pentingnya beberapa tokoh nasional berjumpa karena Pemilu 2004 juga berlatar belakang penghianatan, konflik para tokoh dan berbuah krisis kepercayaan satu sama lain. Saya memandang penting kehadiran negarawan pada saat itu.
Maaf, sejak awal saya memandang ada tokoh yang berkuasa justru belum mempunyai kapasitas negarawan secara meyakinkan. Ternyata setelah menjumpai beberapa tokoh, saya mendapatkan syarat-syarat yang luar biasa untuk mereka bisa berjumpa satu sama lain. Syarat-syarat itu tidak mungkin saya kemukakan dan sulit untuk dipenuhi. Lalu bersama Revrisond Baswir, saya berkesimpulan, bangsa ini telah kehilangan pemimpin berkarakter negarawan.
Sepuluh tahun lewat sudah. Selama itu pembelajaran sosial, ekonomi dan politik telah membuka pandangan baru bagi banyak orang. Sayangnya sejumlah prediksi saya yang negatif tentang bangsa ini yang berpijak pada kebebasan telah menjadi kenyataan. Jika 30 tahun lalu saya menulis bahwa demokrasi liberal adalah demokrasi saling menihilkan, saling delegitimasi dan transaksional, kini semua itu tegak sebagai sebuah sistem tak tertuliskan.
Nah, Pemilu pada 2014 makin mengukuhkan sistem itu. Lalu kalau pilihannya adalah sistem politik yang gaduh, kenapa mesti risau dengan kegaduhan itu. Jika sistemnya adalah suara terbanyak yang menang, kenapa memaksa musyawarah pada saat kalah. Jika sikap politiknya adalah diri dan kelompoknya yang utama, kenapa harus sakit hati ketika tidak memperoleh bagian. Inilah penerapan the winner takes all. (Red).