Markaberita.id | Jakarta – Kehadiran Danantara dipandang sebagai era baru kemandirian Indonesia dalam bidang investasi mikro. Pandangan ini relatif sempit, karena terbatas pada kepentingan investasi yang sumbernya dari dividen BUMN dan target proyek investasi juga tersedia. Artinya, sebagai perusahaan investasi, Badan Pengelola Investasi/Holding Investment Company/Danantara tidak pusing mencari sumber investasi dan tidak pusing juga apa yang harus diinvestasikan.
Soalnya adalah, bagaimana menakar keberhasilan dan kegagalan Danantara. Ini mencakup soal kejujuran dalam menggunakan indikator-indikator keuangan. Kehadiran BPI/ Danantara pada hakikatnya menunjukkan, APBN gagal menjalankan tugasnya untuk memenuhi perintah pasal 27 (2) UUD 1945. Bahkan saat dividen BUMN yang disetor ke APBN berasal dari 10 BUMN yang itu-itu juga, maka sebenarnya kita patut melihat BUMN yang menikmanti besarnya Penyertaan Modal Negara, dividen yang dihasilkan, dan kerugian serta korupsi yang dilakukan.
Kemandirian investasi ini berhadapan dengan persandingan dan persaingan dengan perusahaan investasi sejenis, seperti Khazanah, Temasek, Chinese Investment Company.
Gagas tentang perusahaan investasi ini sendiri sama sekali bukan hal baru. Saat BPPN hendak menjual BCA, Ichsanuddin Noorsy menyampaikan gagasan tertulis yang dimuat di media nasional. Artinya, basis BPI adalah hubungan antara keuangan makro dengan keuangan mikro, antara perekayasaan keuangan dan perekayasaan akuntansi.
Maka soal persaingan dengan keuagan global dan regional, BPI berhadapan dengan mental para pengurusnya dan karakater para pemegang amanah kekuasaan. Mereka berhadapan dengan diri mereka sendiri dan masyarakat. Ini disebabkan oleh berpangkat tidak terhormat, menjabat tidak bermartabat, beramanat tapi berhianat (Red)
Berikut link