Markaberita.id | Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sidang pengucapan putusan ini digelar MK pada Rabu (16/10/2024) di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 114/PUU-XXII/2024 ini diajukan Antonius Nicholas Stephanus Kosasih seorang mantan Direktur Investasi PT Taspen (Persero).
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, MK menyatakan pada bagian menimbang UU Tipikor telah menegaskan pada pokoknya tindak pidana korupsi adalah jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi, sosial politik, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas bangsa serta menciptakan kemiskinan yang masif.
Oleh karena sifatnya yang sangat merusak, korupsi telah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime).
Bahkan, jika dikaitkan dengan akibat yang ditimbulkan dapat disejajarkan dengan tindak pidana berat lainnya, seperti terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau perusakan lingkungan berat.
Selain itu, tindak pidana korupsi telah disejajarkan dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi sebagaimana diatur dalam Statuta Roma.
Dengan demikian, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara serius bahkan dengan cara-cara yang luar biasa sebagai konsekuensi yuridis akibat sedemikian sistematis dan meluasnya tindak pidana korupsi yang berakibat telah menimbulkan kerugian negara dan menyengsarakan rakyat.
“Lebih lanjut, berkenaan tindak pidana korupsi yang dipandang sebagai tindak pidana yang mempunyai dampak yang sangat luas, maka secara kategoris, UU Tipikor telah memberikan klasifikasi terkait tindakan apa saja yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi,” ujar Enny.
Selanjutnya, Enny menyampaikan berkenaan isu konstitusionalitas norma yang dipersoalkan oleh Pemohon, jika dicermati oleh Mahkamah, yaitu berkaitan dengan tidak adanya unsur “actus reus” dalam norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yang menurut Pemohon dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Dan oleh karenanya Pemohon memohon agar norma pasal-pasal dimaksud dinyatakan inkonstitusional, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan lebih lanjut hakikat unsur “actus reus” dan relevansinya dengan tindak pidana korupsi, khususnya berkaitan relasinya dengan syarat absolut norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Pengertian dari actus reus secara terminologi adalah perbuatan fisik atau tindakan konkret yang dilakukan oleh subjek hukum tertentu yang merupakan tindak pidana.
Dalam konteks perbuatan yang merupakan tindak pidana maka unsur esensial yang bersifat fundamental adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum dimaksud harus bersifat melawan hukum.
Lebih lanjut, actus reus secara universal sering disebut juga dengan unsur eksternal atau unsur objektif dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana.
Lebih lanjut, actus reus secara universal sering disebut juga dengan unsur eksternal atau unsur objektif dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana.
Oleh karena itu, dalam perspektif hukum pidana, actus reus harüs merujuk adanya dua unsur penting yaitu adanya perbuatan atau tingkah laku dan unsur perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah antara actus reus yang berupa perbuatan konkret dari subjek hukum tertentu untuk dapat dikenakan pidana harus terpenuhi adanya unsur perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan yang dilakukan dapat dipersalahkan/ dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana,” urai Enny.
Selanjutnya, berkenaan dengan pengertian unsur melawan hukum secara doktriner adalah perbuatan melawan undang-undang yang menimbulkan kerugian, pelanggaran hukum, perbuatan yang bertentangan dengan hak-hak orang lain, perbuatan yang dilakukan di luar kewenangan, dan melanggar nilai kesusilaan serta asas umum hukum.
Oleh karena itu, dengan mencermati pengertian unsur secara melawan hukum yang memiliki makna yang sangat luas di atas, maka jika dikaitkan dengan rumusan norma delik yang terdapat dalam undang-undang yang tidak secara tegas memuat rumusan norma dengan menyertakan unsur actus reus.
Termasuk dalam hal ini norma delik Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, apakah terhadap hal tersebut serta merta dapat mengakibatkan rumusan norma delik a quo menimbulkan ketidakpastian hukum, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon.
Berkenaan dengan hal tersebut, norma Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menegaskan tentang setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan, Pasal 3 UU Tipikor merumuskan tentang setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, kekhawatiran Pemohon berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpotensi dapat disalahgunakan para penegak hukum dalam perbuatan yang mempunyai hubungan hukum tertentu.
Seperti halnya business judgment rule yang seharusnya tidak dapat dibidik dengan proses penyelidikan dan penyidikan pidana, seperti yang didalilkan oleh Pemohon.
Menurut Mahkamah, hal tersebut jika yang didalilkan Pemohon I benar, adalah menjadi domain aparat penegak hukum yang menangani perkara yang terkait dengan Pemohon untuk menilainya.
Sebab, dalam perspektif business judgement rule yang mengaitkan dengan unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, aparat penegak hukum harus secara cermat membedah unsur- unsur yang terdapat dalam norma undang-undang yang menjadi dasar untuk mentersangkakan subjek hukum tertentu dengan benar-benar telah memenuhi fakta-fakta hukum yang melanggar prinsip-prinsip business judgement rule.
Salah satu unsur fundamentalnya adalah adanya itikad baik (good faith) dari subjek hukum yang bersangkutan dan sekali lagi hal tersebut menjadi kewenangan aparat penegak hukum dalam kasus konkret untuk melakukan penilaian, bukan serta merta memohon norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan inkonstitusional.
Di samping penegasan dari Mahkamah demikian, jika terhadap penegakan hukum yang diduga ada proses yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip due process of law, maka terhadap hal demikian juga telah tersedia mekanisme kontrol/ pengawasan melalui lembaga praperadilan.
“Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil- dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Enny.
Oleh karena itu, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah memberikan kepastian hukum.
Serta telah memberikan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil- dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Sebelumnya, Pemohon menilai penetapan tersangka terhadap tindakan diskresioner ini menunjukkan adanya interpretasi yang terlalu luas terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat tidak diaturnya secara tegas perbuatan yang dilarang (actus reus) dalam kedua pasal tersebut.
Kemudian, menurut Pemohon adanya kontradiksi putusan pengadilan menjadi salah satu dasar penting dalam permohonan ini.
Selain perdebatan yang terus berlanjut terkait permohonan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, ditemukan juga putusan pengadilan yang saling bertentangan dalam penerapan kedua pasal tersebut.
Isu kontradiksi ini sering kali muncul dalam kasus-kasus yang mempertanyakan apakah tindakan terdakwa merupakan perbuatan koruptif, risiko dari pengambilan kebijakan yang kurang tepat, atau sekadar pelanggaran administratif.
Menurutnya, menyatakan pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat tidak berarti bahwa perbuatan korupsi tidak dapat dihukum, karena semua perbuatan tindak pidana korupsi sebenarnya telah diuraikan secara jelas dalam pasal-pasal lainnya di UU Tipikor.
Sehingga, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beserta perubahannya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon juga memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlindungan hak asasi manusia. (Red)