Ichsanuddin Noorsy Pada Saat Memberikan Kuliah Umum Pada Saat Hari Anti Korupsi Se- Dunia 2022
Jakarta, Markaberita.id
*MENOLAK PERSEPSI dan IMAJINASI*
Oleh : Ichsanuddin Noorsy
Dalam sejarah ummat manusia menjelajah berbagai belahan bumi, jual beli awalnya dilakukan dengan tukar menukar. Proses ini dilakukan dengan kesediaan para pihak untuk saling bertukar dengan ihlas. Prestasi dan kontra prestasi selesai karena para pihak saling menerima. Tidak ada perjanjian tertulis yang mensyaratkan ini-itu. Kesepakatan saling bertukar ini yang disebut dengan barter.
Di balik peristiwa transaksi itu, ada yang tidak terlihat mata namun dirasakan oleh para pihak, yakni suatu situasi saling berbagi dan memberi. Kelebihan berbagi atau kekurangan memberi berlangsung nyaris tanpa protes atau keluhan. Pemberi ihlas mendeliver apa yang dimilikinya. Penerima pun menerima lalu memberi dengan rasa yang relatif sama. Situasi ini tidak terungkap dengan kata-kata. Namun berwujud dalam tindakan yang muatan psikologinya luar biasa. Atmosfernya mencakup memberi, berbagi, dan berkontribusi, mengerti lalu ihlas menerima.
Ketika Nabi Yusuf dibuang ke sumur dan ditemukan oleh para musafir yang sedang membutuhkan air, sekitar 1600-1700 SM, telah berlangsung transaksi perdagangan dengan menggunakan dirham. Karena memang tidak mungkin bertukar barang dengan orang. Dijualnya Nabi Yusuf kepada raja Mesir telah menghasilkan dirham bagi musafir itu (Yusuf, 12:20). Ini menunjukkan, perdagangan telah berlangsung dengan alat tukar dirham, walau tidak menutup kemungkinan barter pun dilakukan. Saat itu, orang sudah mulai bercocok tanam dan menetap. Berburu binatang tidak lagi membuat tempat tinggal mereka berpindah-pindah. Area perburuan berlangsung sejalan dengan pengetahuan tentang pembacaan alam dan kedirgantaraan sebagai petunjuk cuaca dan arah mata angin. Ini terurai dengan baik dalam anjuran Yusuf saat menakwilkan mimpi.
Jual beli dengan alat tukar dinar-dirham dan saling bertukar itu berlangsung berabad-abad. Sekitar tahun 624 M, saat Muhammad Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, terdapat kerajaan Rumawi dan Persia yang saling bermusuhan. Sementara sebelum Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib menjadi Nabi, keponakan Abu Thalib ini telah berdagang ke Mesir, Yaman dan berbagai kawasa jazirah Arab lainnya. Julukan bagi dirinya adalah Al Amin, pribadi jujur terpercaya. Muhammad membawa barang dagangan dari Siti Khadijah. Kembalinya Muhammad ke kota Mekkah kemungkinan besar membawa barang penukaran sekaligus dirham. Mana yang lebih dominan, dinar-dirham atau barang penukaran, tidak jelas. Tapi pasti, Siti Khadijah menggunakan kekayaannya untuk mendukung perjuangan Rasulullah SAW. Hingga akhirnya Muhammad Rasulullah SAW hijrah, dinar-dirham kerajaan Rumawi lebih banyak digunakan. Ini karena ajaran yang dibawa Muhammad Rasulullah SAW lebih dekat dengan sikap keagamaan Kerajaan Rumawi.
Di Madinah Muhammad Rasulullah SAW membangun masjid, mengorganisasi kaum muhajirin dengan kaum ansor, dan membuka pasar. Lalu Ustman bin Affan menyewa sumur dari seorang Yahudi. Rasululullah SAW menyetujui dan memerintahkan penyewaan ini dilanjutkan. Dengan strategi persaingan berbasis harga dan jadwal deliveri, Ustman memenangkan persaingan. Sahabat Rasulullah SAW ini menerima penawaran penjualan sumber daya air itu dan kemudian membelinya. Masalahnya, dengan alat tukar apa berlangsung jual beli di pasar yang dibangun Rasulullah. Dengan mata uang apa Ustman menyewa dan kemudian membeli sumber daya air milik Yahudi?
Merujuk pada pengalaman dan pengetahuan sebelum menjadi Rasulullah SAW dan saat menjadi pedagang, dan dengan memperhatikan pengaruh kerajaan Rumawi saat itu, alat tukar atau mata uang yang digunakan adalah dinar-dirham Rumawi dan Persia. Ini disebabkan bangsa Arab tidak mempunyai sendiri alat tukar. Setelah menjadi Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah menerima firman Allah SWT. Yakni Al Furqan (25:2) yang menyatakan, Allah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkannya dengan ukuran-ukurannya dengan tepat. Pada Al Qamar ayat (54:49) Allah menegaskan, “Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” Lalu pada surah Hud (11:85) Allah berfirman: Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di Bumi dengan berbuat kerusakan.
Jika merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an yang menyampaikan tentang takaran, timbangan dan ukuran, Rasulullah SAW sebagai Al Qur’an yang hidup pasti menerapkannya. Transaksi pun tidak boleh merugikan para pihak serta tidak untuk melakukan kejahatan. Lalu, kenapa pada saat Rasulullah SAW memimpin langsung ummatnya, tidak diciptakan sendiri dinar-dirham menurut ukuran, takaran dan timbangan yang ditetapkannya? Jika kembali ke surah Al Furqon (surah Makkiyah), maka jelas orientasi kepemimpinan Rasulullah SAW bukan kepemimpinan kebendaan dan keduniaan (duniawi). Memperhatikan kriteria kepemimpinan Rasulullah SAW yang melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan, serta membangun keyakinan kepada para pengikutnya bahwa perjalanan ke depan adalah benar, maka fokus kepemimpinan Rasulullah SAW adalah tegaknya keimanan kepada Allah SWT tanpa mensyarikatkanNya dengan siapa dan apapun.
Pada amanah dan fokus kepemimpinan seperti ini, keseimbangan menjalani misi kehidupan antara dunia dan akhirat menjadi sangat penting, yakni rahmatan lil alamin. Visinya adalah menegakkan keimanan dengan kehidupan akhirat lebih utama sedangkan kehidupan dunia cuma sementara. Dampaknya, ukuran, takaran dan timbangan dalam soal alat tukar bukan menjadi faktor utama sepanjang hajat hidup orang banyak terjamin terpenuhi. Dalam analisis saya, maka Rasulullah SAW membiarkan berlakunya dinar-dirham Rumawi dan Persia. Yang terpenting, transaksi berjalan menurut prinsip dan petunjuk Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Saat kerajaan Rumawi memenangkan peperangan melawan kerajaan Persia, pengaruh dinar-dirham Rumawi menguat. Mungkin saja Rasulullah SAW saat itu belum memandang bahwa masalah dinar-dirham negara lain dapat menjadi pintu masuk didiktenya suatu negara oleh negara pemilik dan penerbit dinar-dirham. Apalagi Rumawi kemudian berhasil ditundukkan oleh pasukan Khalid bin Walid melalui perang Yarmuk pada 15-20 Agustus 636M. Lahir pendapat bahwa dinar-dirham kerajaan Rumawi diadopsi sehingga di bawah kepemimpinan Khulafa’ur Rasyidin Abu Bakar Shiddiq, sebenarnya Islam telah memiliki sendiri dirham.
Dalam kendali Ustman bin Affan, dinar-dirham berlaku menurut ketentuan kekhalifahannya. Fenomena ini menunjukkan, ekonomi Islam tunduk pada syarat-syarat kejujuran, tidak serakah, proporsional, bebas persepsi, terang dan tunai. Barang dan jasa publik tidak dikomersialkan. Kepemilikan tidak bersifat multak. Dinar-dirham pun berlaku sebagai alat pembayaran, alat penyimpanan, satuan hitungan, dan ukuran keberpunyaan. Tentu saja karena dinar merupakan mata uang koin. Dibuat dari emas 22 karat (91,7 %) dan berat 4,25 gram. Sedangkan dirham merupakan mata uang koin dari perak murni seberat 2,975 gram. Rasulullah SAW dan para sahabat menggunakan dinar-dirham sebagai ukuran baku hukum-hukum syar’i, seperti kadar zakat.
Dengan meluasnya dan berkembangnya ajaran Islam, dinar-dirham pun digunakan sebagaimana fungsinya. Ketika Turki berjaya dengan menguasai Selat Bosporus, suatu selat yang memisahkan Asia dan Eropa, Portugal dan Spanyol harus mencari alternatif penguasaan jalur perdagangan laut. Maka lahirlah perjanjian Tordesillas pada 7 Juni 1494 yang memilah-milah wilayah penjelajahan bangsa Eropa sekaligus memandang penting Selat Malaka yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Kawasan Timur dunia di bawah penjelajahan Portugal. Kawasan Barat Dunia di kendalikan Spanyol. Di balik penjelajahan ini, sebenarnya berlangsung triple G: Gold, Glory, Gospel. Penyebabnya, Inggris, Spanyol dan Portugal risau dengan meluasnya pengaruh Kesultanan Turki, yang berarti berkembangnya ajaran Islam.
Persaingan perdagangan dunia dengan menguasai jalur laut dan darat terus berlangsung. Dengan menggunakan energi termis (mesin uap) menjadi energi mekanis, industri pun berkembang. Perkembangan ini memberikan gambaran meningkatnya penggunaan alat tukar. Pembelian tidak hanya dilakukan dengan tunai, tapi juga dengan utang-piutang. Sebagaimana Al Baqarah (2:282), pencatatan utang-piutang berlangsung. Orang mencatatkan jumlah utang-piutang dengan satuan tertentu. Atau membeli barang dengan alat pembayaran tertentu.
Memang selain dinar-dirham yang sudah digunakan secara terbatas pada era Nabi Yakub, uang kertas (fiat money) juga sudah digunakan oleh Dinasti Tang pada 997 M. Di balik penggunaan dua jenis mata uang ini adalah persoalan otoritas penerbit uang, kepercayaan akan satuannya, dan kepercayaan dapat digunakan serta kualitas uang itu sendiri (intrinsik). Tiga hal pertama, mungkin nyaris tidak ada bedanya antara uang kertas dengan dinar-dirham. Sementara kualitas emas dan perak tidak terkalahkan dibanding dengan uang kertas. Selain itu di balik keberadaannya, perbedaanya sangat mendalam.
Jatuhnya Turki Ustmaniyah pada 3 Maret 1924 sebenarnya disebabkan tiga hal: utang luar negeri dalam mata uang asing, perdagangan bebas, dan memburuknya peranan kesultanan terhadap rakyat karena istana hanya sibuk berpesta pora. Dalam perspektif utang luar negeri bermata uang asing, maka negara debitor membutuhkan mata uang negara kreditor untuk membayarnya. Begitu juga dengan negara yang mempunyai ketergantungan pada impor. Selalu membutuhkan mata uang asing untuk membeli kebutuhan barang impor.
Perkembangan teknologi yang pesat di Barat membuat mereka harus mencari pasar dan mengekspor karena surplus produksi. Bersamaan dengan perkembangan industri tekstilnya, Barat mengembangkan alat pembayaran. Mekanisasi pada industri tekstil “dipinjam” menjadi mekanisasi alat transportasi, termasuk mekanisasi perkapalan sehingga mampu mendistribusikan barang-barang. Kebutuhan akan pasar beriringan dengan mencari sumberdaya yang tidak mereka miliki. Bermodalkan kemajuan teknologi, Barat –dalam pengalaman perjanjian Tordesillas pada 7 Juni 1494 dan perjanjian Saragossa 22 April 1529– bersemangat memperluas wilayah dominasi dengan menerapkan triple G: Glory, Gold, Gospel. Mana yang lebih utama, tergantung situasi yang mereka hadapi. Di satu tempat digunakan strategi Gold (berdagang) lalu Glory (mendominasi). Di tempat lain mungkin Glory lebih dulu baru Gospel (penyebaran agama). Maka perang salib sesungguhnya tidak pernah usai. Ini sesuai dengan Al Baqarah (2:120).
Bersamaan dengan itu perkembangan pemikiran antara orang kaya, gereja, dan negara terus mengalami dinamika. Para orang kaya tidak menghendaki gereja dan negara bersatu mengatur masyarakat. Saat yang sama, sumber pendapatan negara dan kehidupan gereja berasal dari masyarakat umum. Karena “kue” perekonomian lebih besar dimiliki oleh orang kaya, maka orang kaya melihat peluang untuk ikut mempengaruhi penataan kehidupan masyarakat. Orang kaya adalah mereka yang banyak memiliki alat ukur kekayaan, atau satuan nilai yang menyatakan kepemilikan atas harta benda. Mereka memiliki akses yang baik ke penguasa negara dan gereja. Uang adalah kuncinya. Harus diakui, gereja begitu kokoh memegang kekuasaan mengatur masayarakat. Sementara pada kerajaan-kerajaan Islam, kerisauan mengenai peranan orang kaya, peranan masjid dan negara tidak terjadi signifikan walau perkembangan teknologi berbasis tenaga listrik lalu ke otomotisasi sangat lamban. Dalam ungkapan yang lain, negara-negara Islam menjadi pengikut atas revolusi industri listrik, otomatisasi, dan kecerdasan buatan. Di era kekinian pun negara-negara Islam berhadapan dengan masalah food, fuel, financial, frequency, dan fashion (dalam pengertian peradaban).
Sebagai negara obyek atas perkembangan teknologi dan target pasar negara industri, maka penggunaan alat tukar pun terpaksa mengikuti negara subyek. Perlahan, halus, namun sistematik struktural negara-negara Islam tunduk pada penggunaan alat tukar negara produsen. Eropa dan Amerika Serikat (AS) menyadari hal ini. Maka transaksi utang-piutang Turki Ustmaniyah dan ketergantungan impornya pada Eropa, khususnya pada Inggris membuka ruang dilakukannya invasi (serbuan), intervensi (campur tangan), infiltrasi (penyusupan), interferensi (gangguan), indoktrinasi, intimidasi dan inflasi. Dalam teori ekonomi, suatu negara yang memiliki ketergantungan impor, apalagi impor barang dan jasa publik, maka inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation) adalah akibat yang sulit dihindari. Perebutan pasar dan sumberdaya di antara negara-negara yang industrinya maju berlangsung sengit, sesengit mereka melakukan imperialisme. Kata kuncinya adalah materialisme yang berlanjut dengan kapitalisme dan berkesinambungan dengan imperialisme. Uang, teknologi, militer, dan keserakahan menjadi satu dalam rangka tegaknya sistem materialisme. Dalam ungkapan ringkas, sebenarnya perang untuk ekonomi, ekonomi untuk perang. Jika ingin berdamai, berperanglah. Itulah yang terjadi sejak peranan ajaran Islam dalam pergaulan internasional makin menurun disebabkan terperosoknya daya tawar politik dan ekonomi kerajaan-kesultanan Islam.
Dalam rangka mempertahankan posisi kemenangan Barat, maka beriring dengan terjadinya Perang Dunia II (PD II 1 September 1939 – 2 September 1945), berlangsung pertemuan 730 delegasi dari 44 negara di New Hampshire, AS terbitlah perjanjian Bretton Woods pada 1-22 Juli 1944. Perjanjian ini menetapkan emas sebagai dasar bagi dolar AS. Sementara mata uang lainnya dipatok ke nilai dolar AS. Tujuan utamanya adalah melahirkan sistem valuta asing yang efisien dan stabilitas nilai tukar, mencegah devaluasi mata uang yang kompetitif, dan mendorong pertumbuhan ekonomi internasional. Dari perjanjian dan Sistem Bretton Woods terbentuklah Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Setelah PD II, tepat pada 30 Oktober 1947 disepakati General Agreement Tariffs and Trade sebagai kesepakatan yang mengatur perdagangan internasional.
Saat itu, AS menguasai dua pertiga emas dunia. Dasar perhitungannya US$1 sama 1/35 oz emas. Atau 1 oz emas sama dengan US$35, atau US$1 sama dengan 0,88867gram emas murni.
Rumusan Bretton Woods itu menunjukkan, negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer akan menjadi negara penentu. Pertemuan Bretton Woods ini seakan menegaskan AS dengan sekutunya yang akan memenangkan PD II. Akumulasi kekuatan militer, akumulasi kekuatan ekonomi dan kepercayaan diri pada kekuatan beraliansi mendorong siapa pemenang PD II. Semua akumulasi itu adalah keserakahan, dan dalam perdagangan internasional, selalu terjadi informasi asimetri, yakni unsur ketidak jujuran.
Dolarisasi AS pun makin menguat melalui peranan IMF dan Bank Dunia, Marshall Plan dan penggunaan SWIFT Code atau Business Identification Code sejak awal 1980-an. Maka baik PD I maupun PD II menggambarkan ajaran Islam, khususnya ekonomi Islam, tersingkirkan. Posisi ini sekaligus meminimalkan penggunaan dinar-dirham. Saat yang sama iklim perekonomian global selalu dibayang-bayangi ketidakpastian dan negara-negara Islam seakan tidak punya jawaban solusi.
Padahal jika diberlakukan standar dinar-dirham, maka pasar mata uang internasional akan berubah. Dinar emas, atau koin emas yang berlaku di AS tidak akan berbeda dengan koin emas yang ada di belahan negara manapun. Biaya transaksi untuk meredam selisih nilai tukar juga tidak terjadi. Spekulasi mata uang pun lenyap. Dengan begitu perekonomian global akan berjalan dalam kepastian, devaluasi sirna, dan persaingan dagang tidak lagi berbasis pada keunggulan mata uang. Alhasil, perang mata uang (competitive devaluation) dan inflasi lenyap. Dampak lainnya, tidak akan ada lagi persoalan bunga. Sebab, nilai tukar bersaudara kandung yang sangat dekat dengan inflasi dan suku bunga. Kenaikan nilai tukar pasti akan berdampak pada kenaikan suku bunga dan inflasi. Hal ini tidak akan pernah terjadi jika nilai tukar bersifat permanen, yakni dinar-dirham.
Karena AS diembargo minyak pada 1970, maka Sistem Bretton Woods dibubarkan dan secara efektif berakhir ketika Presiden AS ke-37 Richard M Nixon mengumumkan bahwa AS tidak lagi menukar emas dengan mata uang AS. Tapi IMF dan Bank Dunia tetap menjadi pilar yang kuat untuk pertukaran mata uang internasional. Oleh banyak kalangan intelektual AS, tidak dihubungkannya dolar AS dengan emas adalah bukti kegagalan ekonomi AS. Muncul berbagai kajian. Misalnya Joseph A Schumpeter yang melihat perkembangan ekonomi melahirkan masyarakat yang cemas. Dalam ungkapan yang lain, sistem ekonomi berbasis kapitalisme gagal mencapai tujuan: mengangkat harkat martabat manusia.
Tetapi jika memperhatikan tetap efektifnya IMF dan Bank Dunia, ditambah keberadaan GATT yang kemudian berganti menjadi World Trade Organization pada 1994, maka mata uang dolar AS menjadi demikian dominan. Pada Agustus 2022, kekokohan green back masih nampak pada struktur Special Drawing Rights (mata uang IMF) yang terdiri atas dolar AS (43,38), Euro Money (29,31), Yuan-Renminbi China (12,28), Yen Jepang (7,59), dan Poundsterling Inggris (7,44).
Memang bobot dolar AS makin hari makin menurun, sementara bobot Yuan-Renminbi China terus meningkat. Ini disebabkan perang perekonomian yang terus berkecamuk sejak energy price war. Puncaknya adalah krisis keuangan global yang dimulai 14 Juli 2008. Mulai saat itu terjadi perang dagang, perang mata uang, perang teknologi informasi dan komunikasi, dan perang sistem ekonomi. Melalui peristiwa Black Monday pada 24 Agustus 2015, RRC menegaskan untuk meninggalkan dolar AS, tidak menggunakan sistem ekonomi neoliberal, tidak menggunakan SWIFT Code, dan membangun New Development Bank (NDB) yang selevel dengan Bank Dunia. Di Asia, RRC membangun Asian Infrastructure Investment Banking (AIIB) yang bersaing dengan ADB. Inilah wujud Belt and Road Initiative.
Bersama Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan mereka menerbitkan kebijakan Local Currency Transaction, bilateral swap. Ini semua dilakukan dalam rangka meminimalkan penggunaan dolar AS. Untuk itu RRC dan Rusia membangun sendiri sarana transaksi pembayaran dan sedapat mungkin tidak menggunakan SWIFT Code.
Respons kalangan politisi AS dan kaum cendekianya menyebutkan, AS tidak perlu cemas. Ini disebabkan, AS memiliki hulu ledak nuklir paling banyak, penguasa industri dan teknologi informasi-telekomunikasi, penguasa industri dan pemain utama pasar minyak global, belanja militer negara terbesar di dunia, penentu kebijakan NATO, produsen jasa hiburan terbesar, dan pemilik wara laba terbanyak. Selain itu dunia menggunakan dolar AS untuk pasar uang, pasar modal, obligasi pemerintah dan swasta, pinjaman yang diberikan Bank Dunia dan IMF, dan perdagangan internasional.
Belajar dari Black Monday pada 24 Agustus 2015, RRC dan Rusia makin sadar bahwa dolar AS adalah senjata ampuh yang tidak dirasakan sebagai senjata. Bersamaan dengan isu penggunaan mata uang digital dengan sarana bar code (quick response) melalui pembacaan telepon genggam, penggunaan dolar AS memang terus menurun. Sejarah menurunnya bobot dolar AS pada SDR membuktikan hal itu. Iklim ketidakpastian dalam perekonomian pun terus menerus berlangsung. Perebutan pasar dan sumberdaya serta penguatan penetrasi pasar oleh korporasi (individual maupun BUMN), membuktikan dunia tidak mampu menghindar dari keserakahan, ketidak jujuran, persepsi dan imajinasi berlebih. Dampaknya adalah disrupsi, atau dikenal dengan volatile-vulnerable, uncertain, complex, ambigue (VUCA). Oleh Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral AS (Chairman Federal Reserve 1987-2006) situasi sekarang ini disebut sebagai era turbulensi. Istilah ini kemudian digunakan Presiden AS ke-46 Joe Biden. Kecamuk semua itu disebabkan oleh pemikiran dan tindakan mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, sejak AS berkuasa di panggung dunia, perekonomian sesungguhnya nyaris sulit mencapai kestabilan. Hal ini terutama karena alat tukarnya berbasis uang cetak. Rujukannya adalah time value of money karena kapitalisme yang menjadi pemandunya dan materialisme yang menjadi dambaannya. Maka riba adalah persoalannya. Bersamaan dengan itu, AS tetap sadar akan pentingnya menimbun emas guna memperkokoh basis kolateral atas nilai tukar dolar AS. Beberapa negara mengikuti jejak ini. Namun tetap terperangkap pada fiat money, uang cetak.
Jika kini uang digital mulai ramai digunakan untuk melakukan transaksi, maka banyak kalangan melihat Bretton Woods ke dua akan kembali berlaku. Artinya, uang digital akan terhubung dengan banyaknya emas yang dimiliki. Tetapi mata uang digital ini tetap menjumpai masalah. Jika uang digital dirujuk ke fiat money, maka terjadi pelapisan persepsi. Apalagi jika berhubungan dengan valuta asing. Muncul masalah persepsi atas uang cetak, barang, dan kepercayaan pada teknologi yang digunakan. Lalu standarisasi teknologi yang digunakan (piranti keras, piranti lunak), jaringan internet, kualitas telepon genggam yang dipakai, dan kompatibelnya teknologi yang diterapkankan satu sama lain di antara merchant, bank, dan provider, pun merupakan masalah tersendiri. Perang Siber adalah bukti, begitu juga dengan perang yang menggunakan drone besarnya lebih kecil dari telapak tangan, dan perang semikonduktor menggambarkan, masih dibutuhkan kesediaan para pihak untuk menurunkan ego dan keserakahannya serta jujur bagi kepentingan hidup damai bersama.
Karena itu dinar-dirham tetap menjadi jalan keluar bersamaan dengan mengalihkan sistem perekonomian ke sistem Islam. Tanpa itu, kemajuan teknologi dan kemajuan ekonomi melulu menjadi sarana keserakahan, ketidak jujuran, permainan persepsi dan imajina berlebihan. Selama hal ini menjadi fenomena aktual, selama itu pula tidak ada ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan bagi segenap masyarakat dunia.## (Red).